Ada tamu asing di rumah. Perempuan setengah baya dengan gaya busana yang apik dan parfum yang harum. Tante Leli, adik sepupu ayah yang datang dari Jakarta. Tante Leli mempunyai suami seorang dokter yang bekerja di rumah sakit besar di Jakarta. Tante Leli, ayah dan ibu mulai bicara serius dan berencana membawaku ke Jakarta. Disana dokter ahli akan dapat menganalisa kekuranganku dan berusaha untuk “menyembuhkanku”. Lalu kudengar ibu mulai menangis dan menyerahkan semua perhiasan untuk dijual demi mengobatiku. Ternyata itu semua belum cukup, jalan satu-satunya adalah menjual rumah ini dan mencari rumah kontrakan di Jakarta. Ayah, ibu betapa banyak harta yang kalian keluarkan demi aku, putrimu satu-satunya penyandang asperger syndrome.
Berada di Jakarta dan ditangani oleh dokter anak dan psikolog bertangan dingin, membuatku menunjukkan banyak perubahan. Aku sangat senang karena mereka dapat memahamiku. Mereka mengajakku bicara dengan menggunakan benda-benda yang menarik perhatianku. Mereka membuatku nyaman dan merasa aman. Mereka mengajariku mengenal banyak benda dengan sebuah kartu yang kemudian hari aku tahu namanya flash card. Mereka melarangku memakan makanan yang berasal dari tepung terigu dan susu sapi. Saat aku mulai diet, aku merasa lebih tenang dan dapat fokus. Dokter Melly juga memberiku suplemen agar aku semakin pintar. Ibu terlihat sangat bahagia dengan kemajuan yang aku alami. Ibu juga diajari oleh psikolog dan terapis di rumah sakit, bagaimana cara memperlakukanku di rumah, bagaimana cara mengajariku bicara dan konsentrasi. Ibu juga mulai mengatur makanan yang boleh dan tidak boleh aku makan. Ibu banyak belajar dan ibu adalah perempuan yang cepat paham. Jika di rumah sakit, aku akan diterapi selama satu jam maka sisanya ibu akan mengulang dan mengulang kembali di rumah. Ibu, tidak pernah terlintas di wajahmu rasa lelah dan rasa bosan untuk mengajariku agar aku bisa mengejar keterlambatanku.
Dengan menempati sebuah rumah kontrakan mungil di Jakarta pusat, kami memulai hidup baru dengan penuh harapan. Aku mulai masuk sekolah dan mendapat kawan baru. Walau aku kesulitan untuk memulai percakapan dengan orang yang baru saja aku kenal tapi kawan dan guru disini tidak ada yang menatapku sinis. Bahkan aku sering mendapat pujian bahwa aku adalah murid yang pintar. Lalu ibu mulai dikenal banyak orang, karena kesabaran dan ketekunan ibu membimbingku ternyata menginspirasi para orang tua yang mempunyai buah hati sebagai anak berkebutuhan khusus. Ibu, dari dalam lubuk hati yang terdalam aku menyampaikan rasa terima kasih dan hormat sujudku. Aku sekarang telah menjadi gadis mandiri dan itu semua karena cinta ibu yang tulus dan tanpa pamrih.
NB
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu
Silakan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H