Mohon tunggu...
Sputnik
Sputnik Mohon Tunggu... Guru - A nameless

Not your company

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merayakan Kartini sebagai Bangsawan Pikiran

11 Juni 2018   15:06 Diperbarui: 11 Juni 2018   15:20 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh".

Begitulah bunyi kutipan di salah satu surat Kartini yang ia kirimkan untuk sahabatnya Estelle Zeehandelaar seperti tertulis di dalam buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Merayakan salah satu pahlawan wanita pertama-tama yang begitu banyak menaruh perhatian terhadap nasib sesamanya, terutama kaum wanita, sudah seperti ritual rutin tahunan yang kita lakukan. 

Namun, sudah tepatkah kita merayakannya? Apa yang sebenarnya kita rayakan dari sosok wanita terpelajar pertama-tama bangsa kita ini? Acapkali yang kita rayakan tidaklah lebih dari seremonial yang sesungguhnya mengkerdilkan jasa-jasa Kartini. Ia hanya diingat sebagai sebuah nama dan juga simbol yang dikultuskan dari kemajuan wanita pada zamannya.

Padahal, seperti yang Pramoedya katakan, ia adalah keluarbiasaan yang hadir pada zamannya, justru karena ia adalah sosok manusia biasa, yang penggambaran mistikal akan dirinya sebagai sosok layaknya dewa di kahyangan justru menutupi segala kemegahan perjuangannya sebagai sosok wanita biasa. Memang sebenarnya tidaklah tepat untuk mengatakannya sebagai wanita biasa, karena pada dasarnya pun ia dilahirkan dari lingkungan keluarga terpandang. 

Namun bukanlah status sosial yang ia sandang yang menjadikannya sosok wanita luar biasa, tapi buah pemikirannya, perhatiannya kepada sesamanya, dan juga cinta kasihnya terhadap sebangsanya yang menjadikannya luar biasa. Panggil Aku Kartini Saja, itulah kutipan dari salah satu surat yang ditulis oleh Kartini sendiri yang menunjukan keengganannya untuk dipandang sebagai sosok manusia yang lebih tinggi dari sebangsanya, meskipun sebenarnya ia memiliki hak untuk menunjukan nama kebesaran Raden Ayu sebagai seorang keturunan bangsawan.

Abdul Rivai pernah menyebut bahwa ada dua golongan bangsawan di zaman modern ini yaitu: bangsawan usul dan bangsawan pikiran. Bangsawan usul tentu saja mudah dipahami sebagai bangsawan yang didapatkan seseorang dari keturunan. Bila pada suatu masa di zaman dahulu nenek moyang kita karena suatu kebetulan tergolong sebagai bangsawan, maka keturunannya pun akan menjadi bangsawan. Namun, zaman modern telah datang dan menggeser ukuran peradaban. 

Bangsawan usul tidak lagi menjadi sebuah ketetapan mutlak yang menjadikan manusia lain lebih tinggi dari sesamanya hanya dikarenakan keturunan. Ada namanya yang disebut sebagai bangsawan pikiran. Ilmu pengetahuan telah memungkinkan setiap manusia yang maju dan berkeinginan untuk maju dengan ilmu pengetahuannya menjadi seorang yang berperadaban tinggi. Dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya ia bisa "diukur sama panjang dan ditimbang sama berat" dengan manusia lainnya. 

Kartini adalah sintesis dari seorang bangsawan usul sekaligus seorang bangsawan pikiran karena pada masanya hanya golongan bangsawan sajalah yang mampu mendapatkan pendidikan. Namun akan lebih tepat sekiranya apabila ia lebih diingat sebagai seorang bangsawan pikiran. Tidak lain karena dari setiap usaha yang ia lakukan untuk memajukan dan memperjuangkan nasib sebangsanya adalah sebagai hasil dari buah pikirnya dan perenungannya terhadap nasib sebangsanya yang masih terkungkung dalam kekerdilan akibat budaya feodalisme bangsawan Jawa.

Kecintaannya akan ilmu pengetahuan dan keterbukaan pikirannya telah mendorongnya menjadi seorang wanita utama yang melahirkan keinginan luhur untuk mencerdaskan sebangsanya. Rasa kemanusiaannya mendorongnya untuk berbuat sesuatu untuk sebangsanya, "bekerja buat kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan rakyat Pribumi, pendeknya menjadi berarti bagi masyarakat, bekerja untuk keabadian". Baginya, pendidikan adalah jalan yang harus ditempuh apabila ia ingin melihat sebangsanya memiliki persamaan dan kesetaraan dengan sesama manusia lainnya. 

Hanya dengan pendidikan manusia bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain. Ia adalah seorang salah seorang wanita terpelajar yang menjunjung asas demokrasi, terlihat dari sikapnya yang ingin memunggungi ketidakadilan akibat dari budaya feodalisme Jawa. Kartini percaya bahwa pendidikan adalah hak setiap manusia dan harus digunakan untuk kebaikan seluruh umat manusia, bukan hanya segolongan saja. 

Ia memiliki keprihatinan bahwa pada zamannya, wanita-wanita Jawa yang dari golongan menengah keatas malah memiliki keterbatasan gerak dibanding rakyat jelata yang terbiasa bekerja di ladang atau pun di sawah dengan suaminya. Baginya, tak ada gunanya mendapatkan sekelumit pendidikan jika untuk berbuat suatu upaya untuk kepentingan sebangsanya saja ia tidak bisa, untuk apa pendidikan dan ilmu yang tak seberapa ia peroleh itu kalau tetap harus hidup dalam kungkungan pingitan? Dalam hal inilah dorongan moralnya meronta, menginginkan masa depan yang lebih bebas dari segala pengekangan terhadap segala kemajuan yang tidak bisa ia dapatkan namun selalu ia cita-citakan.

Namun ada saja beberapa orang memandangnya sebagai seorang pemimpi, yang tidak pernah bisa mewujudkan keinginan luhurnya. Tapi ini bukan karena Kartini adalah seorang yang hanya kuat pikirannya namun lemah tindakannya. Hanya saja, zaman belum memungkinkan untuknya berjuang lebih dari itu. 

Bagaimanapun kuatnya keinginannya untuk melanjutkan belajar, ia tetaplah seorang wanita Jawa yang masih terikat dengan nilai-nilai yang mengelilinginya, terutama karena kecintaan dan baktinya terhadap ayahnya tercinta yang meskipun sudah mendapatkan pendidikan Barat namun masih berpegang pada nilai-nilai leluhur. Ia hidup di persimpangan zaman ketika Belanda baru saja belum lama memulai politik etiknya. 

Tidak ada kekuatan padanya, tidak ada kuasa yang ia punya. Satu-satunya yang ia miliki adalah keteguhan asas bahwa yang baik dan membawa kepada kebaikan dan kemajuan harus diperjuangkan, dengan cara dan jalan apapun yang ia mampu. Sampai sekarang buah dari perjuangan moralnya dalam tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikirannya masih kita rasakan sekarang, meskipun mungkin belum sepenuhnya sesuai keinginannya. 

Namun, bukankah itu juga merupakan bagian dari jalan yang telah diretasnya untuk melahirkan bangsawan-bangsawan pikiran yang mampu meneruskan perjuangannya yang belum selesai? Maka sudah sepantasnya untuk tetap mengenangnya, sebagai salah seorang bangsawan pikiran wanita pertama-tama. Salah satu Sang Pemula yang meretas jalan kemajuan bagi kaum sebangsanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun