Konflik di wilayah LCS ini merupakan konflik yang sangat kompleks dan perlu segera diselesaikan, karena menyangkut adanya tumpang tindih klaim teritorial atas pulau pulau dan batas maritim yang akan memiliki dampak yang luas, termasuk konflik ekonomi dengan adanya perebutan sumber daya alam (minyak, gas alam, dan ikan), keamanan maritim, dan ketegangan geopolitik, yang mampu menghambat pertumbuhan ekonomi khususnya, mengingat LCS ini merupakan jalur perdagangan global.
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan
Kompleksitas konflik di LCS tidak hanya mencakup perselisihan wilayah dan sumber daya alam, tetapi juga melibatkan isu isu hukum, militer, ekonomi dan diplomasi. Penyelesaian konflik memerlukan komitmen bersama dari semua pihak yang terlibat untuk menemukan solusi yang adil, berkelanjutan, dan menghormati norma norma hukum internasional. Untuk itu, sebagai upaya dalam mengatasi tantangan-tantangan yang ada di kawasan LCS dan menjaga kedaulatannya, Indonesia sudah seyogyanya melakukan pendekatan multi-aspek:
1. Diplomatic EngagementÂ
Indonesia harus secara aktif terlibat dalam upaya diplomasi, baik secara bilateral maupun multilateral, untuk menyelesaikan sengketa di LCS secara damai. Sebagai negara non-claimant, Indonesia dapat memanfaatkan sikap netralnya untuk memfasilitasi dialog dan negosiasi di antara pihak pihak yang terlibat. Untuk itu, sebagai upaya diplomatis terkait penyelesaian sengeketa LCS, Indonesia selaku tuan rumah dalam agenda keketuaan ASEAN 2023, berinisiatif untuk mempercepat negosiasi kode etik atau code of conduct (CoC) di LCS sebagai upaya penyelesaian konflik, yang kemudian berhasil disepakati oleh seluruh negara ASEAN dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (Kementerian Luar Negeri, 2023). Guidelines yang baru ini merangkum aspirasi ASEAN-RRT untuk selesaikan CoC dalam 3 tahun atau kurang, melalui pembahasan secara intensif terkait pending issues selama ini serta usulan working method lainnya agar negosiasi berjalan lebih cepat dan efektif.
Selain itu, Indonesia juga melakukan Kerjasama defense diplomacy dengan negara negara great power salah satunya Australia yang bernama Indonesia-Australia Fisheries Surveillance Forum (IAFSF). Program ini ditujukan untuk melakukan patroli laut bersama bernama patroli Jawline-Arafura yang dimaksudkan untuk melindungi perbatasan wilayah Indonesia maupun Australia dari oknum pelanggar yang sering mencuri kekayaan hayati yang ada di dalamnya (Septari dkk, 2022).
2. Memperkuat Wilayah Perbatasan dan Pertahanan Maritim
Indonesia harus meningkatkan kemampuan pertahanan wilayah perbatasan dan maritimnya untuk melindungi wilayah perairan dan ZEE nya. Hal ini termasuk investasi dalam patroli angkatan laut, sistem pengawasan baik udara maupun air, dan kemampuan penjaga pantai untuk mencegah aktivitas penangkapan ikan ilegal dan menjaga perbatsan lautnya.
Sejak tahun 2005 hingga 2016 tercatat telah terjadi beberapa kali pelanggaran ZEE yang dilakukan kapal China di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Pelanggaran ini mencakup praktik illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing dan kedaulatan oleh coast guard atau penjaga pantai China di kawasan perairan Natuna (Andika & Aisyah, 2017).
Sebagai respon seiring berlangsungnya konflik dan pelangaran-pelanggaran yang terjadi, Presiden Joko Widodo langsung bertindak dan meninjau kawasan Natuna serta melakukan rapat terbatas di atas kapal KRI Imam Bonjol-383 pada (6/2016) yang dihadiri panglima TNI, Menteri Luar Negeri, Menteri PPN/ BAPPENAS, dan Menteri ESDM. Dalam rapat tersebut presiden menegaskan untuk badan keamanan laut (Bakamla) dan TNI agar meningkatkan penjagaan di perairan Natuna (BBC, 2016). Â Maka sebagai respon, dibentuklah kolaborasi antara badan keamanan laut (Bakamla) dan Pemkab Natuna untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Natuna (Antara, 2021). Menteri Pertahanan Indonesia (2019-2024), Prabowo Subianto juga merespon dengan berupaya meningkatkan kekuatan militer dan mengganti peralatan pertahanan, dengan mengalokasikan anggaran senilai Rp 133,4 triliun (Kementerian Keuangan, 2022). Selain itu, TNI AL juga siagakan empat KRI untuk jaga kedaulatan Laut Natuna Utara (Antara, 2023), sementara Lanud RSA Natuna tambah kekuatan 19 personel baru (PUPEN TNI, 2023).
3. Mempromosikan Kerjasama Regional
Indonesia harus terus mendorong persatuan dan solidaritas ASEAN dalam mengatasi tantangan keamanan regional. Melalui platform seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS), Indonesia dapat bekerjasama dengan negara negara anggota ASEAN lainnya dan mitra eksternal untuk mendorong langkah langkah membangun kepercayaan dan penyelesaian sengketa secara damai di LCS. Dalam konteks ini, Indonesia berhasil menyelenggarakan "The 32nd Workshop Adopted the Guidelines for Consideration and Implementation of Project Proposals as A Guide for Projects under the Framework of Future Workshops" sebagai salah satu upaya dalam mendorong peningkatan kerjasama teknis dalam menajemen konflik LCS (Kemenlu, 2023). Kegiatan ini dihadiri oleh Indonesia, Brunei Darussalam, Laos, China, Malaysia, Myanmar, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Workshop ini juga mencatat sejumlah usulan proyek sebagai kerjasama konkrit para pihak yang berpartisipasi, antara lain: penelitian ketahanan terumbu karang terhadap meningkatnya ancaman aktivitas antropogenik, perubahan iklim, dan kajian dampak perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut; ekosistem mangrove; penelitian bintang laut mahkota berduri; penelitian bertema peningkatan ekosistem laut di pesisir Myanmar; dan penelitian bertema peningkatan ekosistem laut di LCS dengan mengatasi dampak perubahan iklim.
4. Advokasi Hukum Internasional
Indonesia harus menjunjung tinggi prinsip prinsip hukum internasioanl, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), sebagai kerangka hukum untuk menyelesaikan sengketa maritim. Dengan mengadvokasi tatanan berbasis aturan di LCS, Indonesia dapat memperkuat posisi dan menegaskan kedaulatannya sesuai dengan norma dan standar internasional.
Dalam konteks mekanisme bilateral bagi Indonesia, sebagai upaya menekan perluasan konflik yang berpotensi melibatkan Indonesia kedalam konflik bilateral, maka diperlukan adanya penegasan terkait batas wilayah maritim ZEE Indonesia dengan negara tetangga yang bertumpang tindih yakni dengan Vietnam di kawasan LCS menjadi sangat krusial. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat landasan hukum penegasan batas wilayah yang tumpang tindih dalam menghadapi third party terutama China. Berkaitan dengan hal tersebut, pada (12/2022) Indonesia dan Vietnam berhasil mencapai kesepakatan terkait batas wilayah ZEE Indonesia dan Vietnam. Kesepakatan ini telah memberikan kepastian hukum dan jaminan sesuai UNCLOS 1982, terkait penerapan hak dan kewajiban negara di wilayah ZEE-nya masing masing (CNN, 2022).
Ancaman konflik di kawasan LCS memberikan tantangan yang signifikan terhadap kedaulatan dan keamanan NKRI. Namun, melalui diplomasi proaktif, pertahanan wilayah perbatasan dan maritim yang kuat, kerjasama regional, serta kepatuhan terhadap hukum internasioanl, Indonesia dapat memitigasi ancaman ancaman ini dan menjaga kepentingannya di kawasan. Sebagai negara maritim yang bertanggung jawab, Indonesia harus tetap waspada dan proaktif dalam mengatasi dinamika kompleks LCS untuk menjamin perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran bagi dirinya sendiri dan kawasan Asia Tenggara secara lebih luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H