Biografi Ingwer Ludwig Nommensen
Mengutip Martin E. Lehmann dalam bukunya A Biographical Study of Ingwer Ludwig Nommensen, (1834-1918): Pioneer Missionary to the Batak's of Sumatra, perjalanan hidup Nommensen, yang nama lengkapnya adalah Ingwer Ludwig Nommensen lahir di desa, di pulau Nordstrand, Jerman.
Nommensen lahir bertepatan dengan terbunuhnya pendeta Henry Lyman dan Samuel Munson pada tahun 1834, martir Batak tersebut. Dia lahir pada tanggal 6 Februari 1834. Nommensen terlahir dari keluarga yang miskin.
Nama ayahnya, Peter Nommensen dan ibunya, Anna  nee Ingwersen. Pekerjaan ayahnya adalah seorang penjaga pintu air, sementara ibunya adalah seorang wanita Kristen yang taat Tuhan dan yang bekerja keras untuk membantu menghidupi keluarganya.
Kedua orangtuanya bekerja dari hari ke hari agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Nommensen hanya memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Leoke, dan memiliki tiga adik perempuan; Maria, Lucia dan Naomi.
Naomi yang termuda, dan sudah meninggal pada bulan Juli 1847. Nommensen lebih tua 2 tahun dari Maria, adiknya.
Sejak dini, Nommensen sudah membantu orangtuanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada usia tujuh tahun dia menjadi penggembala angsa bagi orang lain.
Ketika dia berusia delapan tahun, dia dipekerjakan sebagai penggembala domba di kampungnya selama bulan-bulan musim panas. Baru berusia sembilan tahun, dia bekerja sebagai pekerja magang di tukang atap.
Kemudian, pada usia sepuluh tahun, ia dipekerjakan sebagai petani di dusun Elizabeth-Sophia Koog. Setahun kemudian dia bekerja untuk Hans Lorenz Jensen, seorang petani di Nordstrand, sebagai pemimpin kuda yang memasang bajak.
Ketika Nommensen berusia sepuluh tahun, sebuah peristiwa besar terjadi. Tahun 1846 Nommensen mengalami kecelakaan yang serius.
Pada waktu ia bermain kejar-kejaran dengan temannya, tiba-tiba ia ditabrak oleh kereta berkuda. Kereta kuda itu menggilas kakinya sehingga patah. Terpaksa ia berbaring saja di tempat tidur berbulan-bulan lamanya.
Teman-temannya biasanya datang menceriterakan pelajaran dan cerita-cerita yang disampaikan guru di sekolah. Cerita-cerita itu adalah tentang pengalaman pendeta-pendeta yang pergi memberitakan Injil kepada banyak orang dan Nommensen sangat tertarik mendengar ceritera-ceritera itu.
Lukanya makin menjadi parah sehingga dia tidak dapat berjalan sama sekali. Sekalipun sakit, Nommensen belajar merajut kaos, menjahit dan menambal sendiri pakaiannya yang robek.
Nommensen tidak dapat berjalan karena cedera pada tulang keringnya tersebut.
Meski tidak bisa berjalan, Nommensen juga merasa bertanggung jawab menjaga adik-adik perempuannya karena Nommensen bisa menghabiskan banyak waktu berjam-jam di rumah bersama-sama dengan adik-adiknya; mengobrol dengan mereka, mengawasi mereka dan belajar meningkatkan kemampuan membaca dan menulisnya atau mengerjakan beberapa tugas aritmatika di rumahnya.
Karena cidera yang dialaminya, tampaknya hanya ada sedikit harapan bahwa dia tidak bisa berjalan lagi. Luka yang terbuka di salah satu tulang keringnya meradang dan bengkak parah. Sepotong tulang sudah patah membuat dia harus terbaring di tempat tidur.
Bantuan medis selama ini seolah-olah sia-sia. Kondisinya, bukannya membaik, malah semakin memburuk. Terkurung di tempat tidurnya, ia mulai membaca Alkitab karena itu adalah satu-satunya bahan cetak yang tersedia baginya di rumah.
Dalam penderitaannya semasa kecil ini, Nommensen menghabiskan banyak waktu untuk membaca Kitab Suci, ia secara khusus terpesona dan terinspirasi oleh keempat Injil dalam Perjanjian Baru.
Suatu hari sebelum Natal tahun 1847, ia menemukan kata-kata Yesus dalam Injil Yohanes 16:23b-24b, "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku....Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu." Bagian itu menyentuhnya.
Dia merenungkannya. Dengan penuh semangat memanggil ibunya, dia berkata, "Ibu, dengarkanlah apa yang tertulis di sini." Dia membacakan kata-kata itu dengan keras kepada ibunya dan bertanya dengan sedih, "Apakah itu benar ibu? Apakah mukjizat masih terjadi hari ini padaku? Apakah aku akan sembuh?" Ibunya menjawab: "Ya, itu adalah Firman Tuhan!"
Ibunya meyakinkannya bahwa perkataan itu masih berlaku. Ia meminta ibunya untuk berdoa bersama-sama. Nommensen meminta kesembuhan dan dengan janji, jikalau ia sembuh maka ia akan pergi memberitakan Injil.
Dia berkata dengan percaya diri, "Kalau begitu, yang harus aku lakukan hanyalah berdoa terus agar Tuhan menyembuhkan kakiku!" Sejak saat itu, Nommensen beriman dan mengandalkan janji Yesus.
Nommensen mulai berdoa dengan khusuk dan rajin. Isi doanya selalu ialah, "Ya Bapa, di sini tertulis (Alkitab) bahwa Yesus berkata: 'Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku.
Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.' Sekarang aku meminta dalam nama Yesus, sembuhkanlah kakiku Bapa, supaya aku Engkau kirim ke orang-orang kafir melayani-Mu, amin."
Dia pun sekarang menghadapi masa depan dengan percaya diri, menaruh kepercayaannya pada firman Tuhan dalam Alkitab dan janji Kristus dan sepenuhnya mengharapkan kesembuhan dari-Nya.
Dan memang doanya dikabulkan karena beberapa minggu kemudian kakinya sembuh. Setelah sembuh kembalilah Nommensen menggembalakan domba lagi.
Nommensen meninggal pada umur yang sangat tua, pada umur 84 tahun. Ia meninggal pada 23 Mei 1918.
Nommensen dikuburkan di Sigumpar di tengah-tengah suku bangsa Batak setelah bekerja dan setia melayani di suku bangsa tersebut selama 57 tahun lamanya.
Panggilannya
Berawal dari doa, didikan pengajaran firman Tuhan oleh ibunya, Anna, hingga nazarnya membuat dirinya mendapat panggilan Allah sebagai misionaris ke tanah Batak. Pada bulan Agustus tahun 1857, Nommensen di terima di Missionhaus, yaitu sekolah Pendeta asuhan RMG.
Selama di sekolah Pendeta, Nommensen disiapkan dan di didik untuk memberitakan Injil oleh pimpinan Missionhaus yang di mana juga seorang pendeta, yaitu Inspektur Wallman.
Selama di Missionhaus Nommensen kerapkali disepelekan karena berasal dari keluarga yang tergolong miskin dan berasal dari pulau kecil oleh rekan-rekannya.
Di tambah lagi pada bulan Januari tahun 1858 ibu Nommensen meninggal dunia sehingga terpaksa harus kembali ke Nordstrand untuk melihat pemakaman ibunya. Karena situasi inilah, Nommensen harus membawa adiknya, Lucia ke Barmen.
Lucia tinggal pada keluarga Perts dan bekerja di taman kanak-kanak. Nommensen pun fokus menyelesaikan pendidikannya sebagai hamba Tuhan.
Tanah Batak begitu terkenal di mata orang-orang Eropa, orang Batak dianggap sebagai kelompok suku kanibal dan suku liar yang terisolasi.
Anggapan ini di dukung dengan kabar kematian dari dua orang misionaris yang diutus oleh Zending Gereja Baptis dari Amerika, yaitu pendeta Samuel Munson dan Henry Lyman.
Peristiwa yang menggemparkan ini menjadi perbincangan di Barmen. Peristiwa tersebutlah yang mendorong kerinduan Nommensen dalam menjalankan misi penyebaran Injil Kristus ke tanah Batak.
Tahun 1861 ia ditahbiskan menjadi pendeta. Dan sesudahnya ia berangkat menuju Sumatra dan tiba pada bulan Mei 1862 di Padang. Ia memulai pekerjaannya di Barus.
Ia mulai belajar bahasa Batak dan bahasa Melayu dengan cepat sekali dapat dikuasainya. Sekarang ia mulai mengadakan kontak-kontak dengan orang-orang Batak, terutama dengan raja-raja.
Ia tidak jemu mengadakan perjalanan keliling untuk menciptakan hubungan pergaulan yang baik. Ia memelajari adat- istiadat Batak dan menggunakannya dalam mempererat pergaulan.
 Visi dan Misi Pelayanan I.L. Nommensen
Dalam pekerjaan pekabaran Injil ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang-orang Batak, sehingga dibukalah sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak pribumi.
Juga untuk kebutuhan guru-guru sekolah, dibukanya pendidikan guru atau sekolah-sekolah (dan juga nanti termasuk fasilitas-fasilitas kesehatan).
Nommensen meminta izin untuk masuk ke pedalaman, namun dilarang oleh pemerintah, karena sangat berbahaya bagi seorang asing. Namun Nommensen tidak takut.
Ia memilih Silindung sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ia mendapat gangguan yang hebat di sini, namun ia tidak putus asa.
Karya Pelayanan I.L. Nommensen
Nommensen adalah seorang tokoh pekabar Injil berkebangsaan Jerman yang terkenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya adalah berdirinya sebuah gereja terbesar di wilayah suku bangsa Batak Toba.
Gereja itu bernama Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak berlebihan jikalau ia di beri gelar Rasul Batak. Karena dia, maka suku Batak menjadi orang percaya, menjadi Kristen. Ia sudah memberikan seluruh hidupnya bagi pekerjaan pekabaran Injil di tanah Batak.
Pekerjaan Nommensen diberkati Tuhan sehingga Injil makin meluas di Sumatra. Sekali lagi ia memindahkan tempat tinggalnya ke kampung Sigumpar, pada tahun 1891, dan ia tinggal di sini sampai dengan meninggalnya.
Nommensen memberitakan Injil di tanah Batak dengan berbagai macam cara. Ia menerjemahkan PB ke dalam Bahasa Batak Toba dan menerbitkan cerita-cerita Batak.
Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal, menebus hamba-hamba dari tuan- tuannya, dan membuka sekolah-sekolah serta balai-balai pengobatan.
Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan maka pimpinan RMG mengangkatnya menjadi Ephorus pada tahun 1881. Pada hari ulang tahunnya yang ke-70, Universitas Bonn memberikan gelar Doktor Honoris Causa (H.C) kepada Nommensen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H