Mohon tunggu...
Haposan Lumbantoruan
Haposan Lumbantoruan Mohon Tunggu... Freelancer - Pessenger

Pemula yang memulai hobi dengan membaca buku dan koleksi buku, menulis, sepakbola dan futsal, musik, touring dan traveling serta suka (doakan) kamu:)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mengenang Joko Pinurbo: dari Senja hingga Punya Rumah

30 April 2024   11:52 Diperbarui: 30 April 2024   12:23 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;"

Sajak yang indah dari sang Pengkhotbah (Kitab Pengkhotbah 3:4) mengingatkan kita pada segala waktu ada masanya.

Ada masa bagi manusia untuk menangisi kepergian orang yang dikasihinya.

Terkhusus masyarakat setanah air sedang dan atau menangisi kepergian seorang penyair tersohor, Joko Pinurbo.

Baca juga: Bunga dan Gitar

Terdengarnya kabar duka dari seorang penyair tanah air yang telah memberi warna tersendiri dalam karya-karya puisinya bagi per-puisi-an tanah air, yakni Joko Pinurbo alias Jokpin yang akrab di telinga para puitisers.

Joko Pinurbo meninggal dunia pada hari Sabtu kemarin, tanggal 27 April 2024, pukul 06.03 WIB di RS Panti Rapih, Yogyakarta pada usia 61 tahun.

Joko Pinurbo lahir pada tanggal 11 Mei 1962 di Sukabumi, Jawa Barat.

Tentu kabar duka ini mengejutkan sekaligus memberi kesedihan yang sangat mendalam bagi seluruh masyarakat tanah air, terlebih bagi penulis yang mencintai karya-karya puisi, termasuk karya puisi beliau.

Tidak banyak kata lagi yang ingin penulis sampaikan, namun sudah sepatutnyalah penulis mengangkat topi dan memegang dada untuk melepas kepergian sang penyair agung Indonesia, Joko Pinurbo.

Selamat jalan legend, karya-karyamu akan abadi bersama kami di bumi ini.

Penulis ingin mengutip satu puisi Joko Pinurbo yang menurut penulis sangat berperan penting dan berkesan dalam hidup penulis.

Yang mana puisi tersebut menggambarkan betapa banyaklah cita-cita manusia di muka bumi ini. Namun yang terpenting ialah malah melupakan cita-cita terpentingnya, yakni tempat berteduhnya, "punya rumah".
 
Cita-Cita
Setelah punya rumah, apa cita-citamu?

Kecil saja: ingin sampai rumah saat senja

Supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela

Ah, cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk,

uang makin banyak maunya, jalanan macet, akhirnya pulang terlambat.

Seperti turis lokal saja, singgah menginap di rumah sendiri

buat sekedar melepas penat

Terberkatilah waktu yang dengan tekun dan sabar

Membangun sengkarut tubuhku menjadi rumah besar yang ditunggui seorang ibu

Ibu waktu berbisik mesra, "Sudah kubuatkan sarang senja di bujur barat tubuhmu

Senja sedang berhangat-hangat di dalam sarangnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun