Sekalipun kecemaran akan dosa-dosanya dibungkus rapi dengan kesalehan dan perbuatan-perbuatannya yang baik dan indah, namun itu semua adalah "kain kotor" di mata Allah (Yesaya 64:6). Manusia berdosa, Allah maha Kudus; Allah maha Kudus, manusia "kudis" dalam keberdosaannya.
Bila berbicara dunia penginjilan, mempelajari dan menguasai bahasa setempat atau orang-orang yang dijangkau tersebut sudah menjadi harga mati untuk dipahami dan dimengerti serta dipelajari bahasanya.
"Bahasa adalah jembatan pertemanan."
Mengapa? Agar Injil tersampaikan kepada "mereka" dan diselamatkan. Maka hal penting ini harus dan wajib untuk dikuasai oleh para ULB. Bahasa adalah suara ke-saling-pengertian satu dengan yang lainnya. Dengan bahasa sesama manusia bisa saling mengerti dan berkomunikasi.
Maka jangan heran dan terkejut apabila seorang ULB ditolak karena tidak saling nyambung dalam sebuah percakapan. Si ULB memaksudkan percakapannya pada topik A, si pendengar menangkap dan mengertinya B. Lebih sederhananya lagi, si ULB berbahasa Batak Toba, si pendengar menyahutnya dengan bahasa Jawa Sumatera Utara (Pujakesuma).Â
Kalau Josias (2012) berkata seperti ini: "Bahasa yang tidak komunikatif sulit mendarat di hati dan pikiran umat STA. Karenanya cara Pekabaran perlu disesuaikan dengan budaya yang ada di konteks masyarakat tersebut." Dimana persoalannya? Persoalannya terletak pada bahasa. Sudah menjadi keharusan bagi seorang ULB untuk mempelajari bahasa mereka yang dijangkau.
"Komunikatif-lah dalam memberitakan Injil-Nya, agar Injil hadir dalam bahasa mereka dan diselamatkan."
Jikalau tidak, maka siap-siaplah menghadapi ketidak-nyambung-an dalam percakapan dan memungkinkan mereka tidak jadi diselamatkan.
"Keselamatan jiwa manusia berdosa terletak pada Injil. Letakkan-lah Injil tersebut dengan bahasa yang  sederhana dan komunikatif."
Sudahkah Anda mempelajari dan menguasai bahasa setempat dalam pemberitaan Kabar Baik?
Sejarah mencatat, Yesus pada masa hidupnya menguasai beberapa bahasa dalam pemberitaan Kabar Baik yang dilakukan-Nya. Termasuk bahasa Ibrani, Aram, Yunani, dan kemungkinan juga Latin. Pun beberapa rasul-Nya, seperti rasul Petrus menguasai bahasa Ibrani dan Aram, rasul Paulus menguasai bahasa Ibrani-Yunani.
Masihkah kita "mengelak" dan tidak mau tahu dan mempelajari bahasa-bahasa setempat dalam pemberitaan Kabar Baik?
Pengalaman penulis selaku ULB, puji Tuhan di beberapa tempat dimana penulis memberitakan Kabar Baik, seperti; di Langkat-Aceh 7 bulan sudah mempelajari dan menguasai bahasa Melayu Deli, di Padang Sidempuan sekitar 2 tahun kurang lebih pernah beritakan Kabar Baik di sana, dan sudah belajar dan menguasai bahasa Mandailing-Angkola. Di Batubara 1 tahun setengah, dan juga sudah menguasai bahasa Melayu Batubara. Pun di Asahan, kurang lebih sudah 1 tahun setengah menguasai bahasa Melayu Batubara dalam pekabaran Injil-Nya.
Semua itu harus memerlukan kerja keras dan semangat juang yang keras pula, pastinya, serta oleh pertolongan Roh Kudus, agar bisa menguasai bahasa setempat sesuai kehendak Allah. Sepenting itukah harus mempelajari dan menguasai bahasa? Ya, bahkan sangat-sangat penting. Apalagi konteks bahasa di tanah air. Lalu bagaimana memulainya?