Karen M Edmond,dkk (Pediatric Journal, 2005) melakukan penelitian di Ghana terhadap 10.947 bayi. Hasilnya, IMD menurunkan angka kematian neonatus (bayi yang baru lahir) hingga 22%.
ASI dan IMD
Dalam praktik di lapangan, proses IMD sulit dilakukan karena kurangnya pengetahuan petugas kesehatan. Umumnya, setelah lahir bayi akan dipisahkan dari ibu untuk dibersihkan dan ditimbang pada ruangan terpisah.
Padahal jika petugas kesehatan memiliki pengetahuan IMD, setelah lahir bayi langsung diletakkan dengan posisi tengkurap di dada atau perut ibu dengan kulit yang saling bersentuhan. Lalu, biarkan bayi bergerak untuk mencari sendiri puting susu ibunya.
Selain itu, kegagalan pelaksanaan ASI terjadi jika sang ibu sulit menghasilkan ASI. Sehingga petugas kesehatan memutuskan memberikan susu formula sebagai pengganti ASI. Padahal, bayi dapat bertahan selama 48 jam sebelum mengonsumsi ASI. Demikian diungkapkan oleh National Institude For Health and Clinical Excelence pada 2005.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan angka IMD di Indonesia di bawah satu jam kelahiran sebesar 29,3%. Angka ini memang mengalami kenaikan bila mengacu pada data Riskesdas 2013 sebesar 34,5%. Kenaikan ini sayangnya tak sejalan dengan cakupan ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan, dari hasil Riskesdas 2014 angka yang dicapai 52,3% sementara pada Riskesedas 2015 hanya mencapai 41,9%.
ASI dapat memenuhi sekitar 30-50% nutrisi yang dibutuhkan anak hingga berusia 23-24 bulan. Dimulai dengan melakukan IMD setelah bayi lahir. Pengetahuan petugas kesehatan dan masyarakat jadi kunci keberhasilan IMD dan pemberian ASI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H