Mohon tunggu...
Rina Sulistiyoningsih
Rina Sulistiyoningsih Mohon Tunggu... -

Seorang Wanita Biasa, campuran Jawa dan Padang... Lahir di Sentani, Irian jaya..menghabiskan masa sekolah di Pontianak lalu lanjooot ke Malang..Sekarang lagi menikmati kesuksesan hidup... menyusuri setapak...sesekali menoleh kanankiri, berhenti sesaat di persimpangan, tak ingin larut dalam titik beku.... menatap masa depan dan meraih impian.... Wanita Single yang 'gila kerja' sampe lupa mandi hehehe... suka menulis puisi dan cerpen sejak bergabung dengan www.kemudian.com dua tahun yang lalu dan bercita-cita ingin punya buku sendiri.... semoga....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dari Rahim - Berikan Aku Rok (2)

16 Juni 2010   07:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

II.

”Ayah, sakit...!” aku meronta ketika tiba-tiba ayah masuk ke kamar lalu menarikku keluar dari rumah di malam-malam buta.

Tanganku dicengkramnya erat dan langkahku terseret. Kaki kecilku tak mampu mengimbangi langkahnya. Nafasku terengah dan keringat membasahi tubuhku meski angin laut begitu dingin menyelimuti tubuh kecilku.

Ada cahaya kecil di depan. Perlahan sinar itu tampak jelas. Seperti api unggun di sekolah pada waktu perkemahan pramuka sebulan yang lalu. Suara laki-laki dewasa lebih dari satu orang kudengar. Aku jadi tambah takut.

”Ayah....” ujarku pelan.

”Ssst... diam”

Tiba-tiba ”Buuuk!!!”. Aku dilempar ayah begitu saja diatas pasir pantai. Aku mulai menangis. Lalu datang seorang pria dewasa yang aku tak kenal membekap mulutku dengan sehelai kain yang berbau amis. Aku meronta. Aku teriak tapi kain itu menutup mulutku begitu erat.

Aku mencoba melihat ke arah ayah. Ayah tertawa-tawa tak jelas. Sepertinya ayah lagi mabuk. Botol minuman berserakan didekatnya. Aku tak mengerti mengapa aku dibawa ke sini. Belum sempat aku berpikir, aku diangkat ke atas perahu yang sudah tak terpakai di dekat api. Kakiku menendang-nendang, tapi percuma tubuhku terlalu kecil melawan mereka.

“Sudah kaka nyong, lakukan saja apa yang mau kau lakukan pada anak sial itu. Bebaslah. Utangku lunas semua. Jangan lagi kau kejar-kejar aku. Lagi dia tak berguna. Hanya pembawa kesialan dalam keluarga saja. Coba kalau dia pu mama tuh beranak laki tidaklah susah hidupku seperti ini. Anak tidak jelas. Ragu juga dia tu anak sa ko bukan…”

Hatiku menjerit. Kenapa ayah berbicara kacau seperti itu. Aku teriak sekeras mungkin. Kain amis yang terikat di mulutku sudah basah entah kena air ludah atau air mataku.

“Tapi Bapa, bapa su yakin ko dengan begini. Ini nona masih kecil anak. Masih terlalu mudalah…” ujar seseorang yang lebih muda dan terlihat lebih sadar di pinggir perahu.

“Ah, persetanlah. Kalau lu sonde mau bikin begini na lebih baik lu pulang. Pulang ko jangan kembali!” usir ayah pada pemuda tadi.

”Kau tahu, kau terlahir sebagai anak sial. Anak setan kau itu. Kau pu bapa saja su tidak peduli dengan lu pu nasib. Kau harus disembuhkan. Ini waktunya yang tepat. Saat bulan purnama menerangi pantai ini, saat inilah kesialanmu akan dicabut,” kata seorang pria berbadan besar seraya mengikat kaki kecilku yang kanan dan kiri pada sisi berbeda.

Tangisku semakin pecah. Ayah. Satu-satunya yang dapat menolongku hanya ayah. Aku melirik ke arahnya. Ayah benar-benar tidak peduli padaku, anak perempuannya. Aku menangis dan teriakanku nyaris tak bisa keluar dari mulutku.

Percik-percik api unggun terdengar pilu. Ombak-ombak kecil yang bersahut-sahutan dan sesekali menghantam bibir pantai. Keheningan malam tak benar-benar senyap. Sakit teramat sakit menghujam dalam tubuhku. Mereka memasukan sesuatu ke dalam tubuhku dari bawah. Bertubi-tubi. Aku tak tahu apa itu. Hanya saja mereka meracau tak karuan seolah-olah mengusir suanggi-suanggi yang katanya ada dalam tubuh kecilku. Bahasa-bahasa aneh yang tak pernah kudengar sebelumnya. Suara tertawa atau teriakan mereka benar-benar membuat jeritanku tak terdengar. Aku lelah. Tajam dan sangat menyakitkan seluruh tubuhku. Aku tak sadarkan diri.

* * *
“Bapa, apa yang bapa buat sama Destri?, apa ko Destri lemah begini?” tanya mama ketika ayah menggendongku masuk ke dalam kamar.

Ayah tetap diam. Aku tak bisa membuka kedua mataku. Badanku sakit semua. Sayup kudengar mama menangis histeris. Dibasuhnya tubuh kotorku dengan lap basah.

“Mama…,” ucapku lirih.

“Tuhan, apa yang sudah bapa buat begini? Coba ko cerita sama mama, nak…,” mama mengusap wajahku. Airmataku menetes membasahi pipi.

“Ayah… bilang, Des anak setan… sakit mama… ada setan di bawah perut Des… mereka… menusuk kayu ko apa ko di dalam situ…ulang-ulang..,” ujarku menunjuk lemah ke bawah perut.

“Tuhan, bapa…!!!” mama teriak memanggil ayah yang mungkin sedang duduk di teras sambil merokok. Mama meninggalkan aku dan Desnita yang sedari tadi menatapku bisu. Tangan kecilnya memegak tangan kananku. Seakan mengerti aku sedang sakit.

“Kakak, ada setan di situ?” tanyanya polos.

Prang!!!. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Desnita, sudah terdengar mama dan Ayah bertengkar hebat dan sepertinya bunyi piring atau gelas yang di lempar.

Desnita kaget dan naik ke tempat tidur lalu duduk di sampingku, tangannya semakin erat memegangku. Larai yang sedang tidur dalam buaianpun terbangun dan mulai menangis kencang. Dengan tubuh yang masih sangat sakit, aku mencoba bangkit dan dengan susah payah ke tempat buaian. Kuayunkan lagi sambil bernyanyi-nyanyi kecil agar Larai kembali tertidur. Kututupi kedua telinganya dengan ujung kain. Desnita berlari ke arahku.

“Bapa keterlaluan. Bapa su gila. Benar-benar gila. Setan apa yang ada di dalam Destri, Bapa pikir Destri tu suanggi ko? Destri tu anak kita darah daging kita…”

“Ah, jangan sembarang omong. Sa ragu anak itu sa pu darah. Jangan sampai dia anak suanggi ko…” suara ayah meninggi.

“Bapa, suanggi apa… Destri tu anak bapa ko tidak… bapa yang buat ko bilang suanggi…” mama melemah.

“Ya toh, lebih baik kau bilang. Itu anak siapa. Bukan anakku toh? Mana mungkinlah anakku… sa tinggal berlayar, pulang-pulang sudah berisi pula perutmu, sampai sa bersumpah, kalau anak yang keluar laki, itu baru sa pu anak, tapi yang keluar perempuan itu na bukan sa punya….”

“Sumpah macam apa itu bapa…, Destri ini bapa pu anak, sama seperti Desnita dan Larai. Tuhan tolong e, bapa su delapan tahun dia besar begini ju masih ragu dengan bapa pu anak… Bapa betul-betul bukan manusia. Jangan sampai bapa itu yang suanggi. Sekarang bapa cerita sama mama, itu anak bapa buat apa?”

“Tidak lah, sa tidak buat apa-apa dengan itu anak. Dia hanya perlu dibersihkan. Buang sial. Cukup baik sa pu teman-teman masih mau terima dia. Paling tidak sa pu utang su lunas…” suara ayah terdengar datar.

“Bapa itu yang suanggi. Setan. Bapa tidak sayang anak. Bapa jual pula anak kita. Bapa keterlaluan…”

Suara kursi yang dibanting, gelas atau piring yang di lempar membuat aku memeluk Desnita semakin erat. Larai gelisah dalam buaian. Kuayun-ayunkan lagi sementara aku sudah tak sanggup untuk bernyanyi seperti tadi.

“Kakak, di rumah ini memang ada setannya. Ayah mungkin sudah jadi anak buahnya. Ayah selalu begitu. Marah-marah tidak jelas. Dua hari yang lalu ayah jemput Nita di tk. Nita tidak tahu ayah bawa kemana. Cuma ayah bawa Nita ke rumah bapa Domi. Kakak tahu to, itu yang dekat pasar ikan. Nita di kasih boneka itu…” tangan kecil Desnita menunjuk sebuah boneka di samping bantal di tempat tidur.

“Terus…?”

“Bapa Domi pegang-pegang Nita. Bapa Domi kasih masuk dia pu tangan ke pipis Nita…” lanjutnya.

“Terus…?” aku cuma bisa mendengarkan dengan hati yang berdebar-debar.

“Ayah suruh Nita diam. Ayah sudah siap kayu di tangan kalau Nita menangis… Ayah pernah pukul Nita pakai kayu. Itu sakit. Nita tidak mau di pukul ayah lagi…Nita takut ayah…”

Desnita memelukku. Ada rasa sakit di pinggangku saat tangan kecil Desnita memelukku. Aku bisa tahan itu tapi air mataku tetap tak mau berhenti menetes. Tirai kamar terbuka, mama datang dengan air mata yang juga membasahi wajahnya. Larai diangkatnya dari buaian dan mama mulai meneteki Larai.

“Mama…,”

“Sssstt….. kamu tidurlah dulu nak… badanmu masih sakit. Naiklah ke tempat tidur. Nanti mama masakan bubur dulu buat kalian makan…”

Aku menurut. Desnita kuajak naik ke tempat tidur. Aku memang masih delapan tahun. Masih kecil untuk mengerti semua yang telah terjadi. Aku hanya tahu. Ada setan di tubuhku atau ayah itu memang setan. Mungkin juga saat ini hinggap di tubuh Desnita atau bahkan akan masuk pula ke tubuh adik kecilku, Larai.

Sejak hari dimana mama menangis bersama aku dan adik-adikku, ayah menghilang. Tak pernah lagi dia muncul. Kalaupun ayah muncul di rumah itu pada saat aku tak ada. Pasti Ayah meminta uang sama mama. Bodohnya mama selalu memberinya uang, meski ayah untuk itu ayah meninggalkan beberapa luka pukul di wajah atau tubuh mama.

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun