Menghapal adalah salah-satu metode belajar yang telah digunakan selama bertahun-tahun dari SD sampai Perguruan Tinggi. Tidak hanya di sekolah formal, di lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren, menghapal telah menjadi kewajiban. Siswa diharuskan mengingat dan mengutarakan kembali apa yang telah dihapalkan.
Di Indonesia, tradisi menghapal telah dimulai sejak beberapa dekade. Sejak 1950-an, kurikulum pendidikan berbasiskan hapalan. Dan hal ini berlanjut pada masa Orde Baru. Pada masa Orba, tradisi menghapal semakin menjadi-jadi. Hampir semua pelajaran berbasiskan hapalan, bahkan ilmu-ilmu eksakta sekalipun. Â Pelajaran PMP, Sejarah, PSPB, Bahasa Indonesia, biologi, Agama, dan sebagainya harus dihapalkan.
Siswa dituntut untuk menghapalkan sekian mata pelajaran untuk diujikan. Ujian-ujian sekolah dibuat untuk menguji hapalan para siswanya. Dengan kondisi tersebut, siswa-siswi menjadi tertekan. Mereka harus menguasai seluruh mata pelajaran. Dalam bahasa Ng Aik Kwang, seorang psikolog dari Singapura,"Jack of all trade, but master  none".
Menurut Kwang, di  pendidikan di negara-negara penganut Konfusian dan juga seperti di Indonesia dan Malaysia, tujuan siswa-siswi belajar adalah untuk mendapat nilai bagus dan lulus ujian. Dengan ijazah SMU, mereka mencoba mendaftar di universitas yang bagus dan setelah itu bekerja pada perusahaan besar.
Kemampuan menghapal merupakan level terendah kemampuan kognisi manusia. Bahkan anjing dan simpanse pun mampu menghapal seperti layaknya manusia. Kita mungkin pernah mendengar eksperimen Ivan Pavlov, seorang psikolog, terhadap anjing. Anjing-anjing dilatih untuk mengingat dan hasilnya anjing-anjing mampu mengingat apa yang sudah dilatih.
Manusia berbeda dengan anjing. Namun tradisi menghapal menempatkan manusia tidak lebih daripada anjing. Manusia seharusnya bisa dilatih lebih daripada itu. Saat ini diskusi-diskusi di kelas hampir tidak ada, kecuali kelas IPS. Siswa-siswi tidak pernah diajak untuk memecahkan persoalan. Kemampuan berdiskusi di kalangan siswa SMU amat lemah. Hal ini berlanjut hingga perguruan tinggi. Mereka hanya bisa menjadi pendengar yang duduk manis dalam kelas.
Siswa-siswi SD sampai SMU juga tidak dilatih kemampuan menulis. Akibatnya, tulisan mereka menjadi buruk. Dan hal ini, menurut sastrawan Taufik Ismail, sudah berlangsung hingga 65 tahun bahkan lebih. Pelajaran menulis amat tertinggal di sekolah-sekolah tinggi.
Bahkan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di mana siswa-siswi seharusnya dilatihan kepekaan dan rasa harus dihapalkan. Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diajarkan seperti fisika, penuh rumus dan hapalan. Orientasinya adalah pada tata bahasa. Mereka diharuskan menghapalkan konsep-konsep dalam ilmu linguistik.
Tradisi diskusi dan berpikir kritis tidak diajarkan di sekolah. Siswa-siswi tidak dibiasakan untuk berpikir, melainkan hanya menerima pelajaran layaknya anjing yang patuh. Tidak ada tradisi debat dan diskusi di sekolah-sekolah.
Siswa-siswi hanya membaca buku teks pelajaran untuk dihapalkan sampai titik koma, tapi tidak membaca buku-buku lain. Kewajiban membaca buku sastra digunting habis karena dianggap tidak berguna. Siswa sampai mahasiswa hanya membaca buku teks, namun tidak mau melebarkan pengetahuannya ke bidang-bidang lain.
Menghapal itu baik asalkan tidak seluruh pelajaran harus dihapal. Lebih baik guru menciptakan permainan kreatif agar siswa tidak jenuh. Pendidikan tidak seharusnya menghasilkan murid seperti "burung beo". Yang hanya pandai mengulang pelajaran di dalam kelas, tanpa harus berpikir kreatif. Berpikir sendiri tidak diajarkan di sekolah kita. Siswa lebih banyak diajarkan berhitung daripada berpikir.
Hal yang sama terjadi di pesantren-pesantren. Santri-santri diharuskan membaca dan menghapalkan ratusan kitab ulama klasik. Namun mereka tidak diperbolehkan bertanya, mendebat, dan berpendapat. Sistem pendidikan di Ponpes mengharuskan mereka untuk tidak berdebat dengan ustadz.
Padahal yang mereka perdebatkan adalah pemikiran ulama masa lampau yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Santri mempunyai ewuh-pakewuh untuk tidak melawan ustadz apalagi kyai. Diskusi atau munazharah di pesantren sering dilakukan. Namun budaya berpikir kritis dan alternatif belum tampak.
Menurut almarhum Nurcholish Madjid dalam salah-satu bukunya menulis bahwa kreativitas keilmuan  di dunia Islam mandek. Yang ada adalah tradisi meng-hafaza atau menjaga hapalan. Tidak ada keberanian bagi para ulama dan santri untuk mengkritik ulama masa lampau walau situasinya berbeda.
Sarjana-sarjana agama amat kuat hapalannya ketimbang daya analisisnya. Mereka tidak dididik dalam pemecahan masalah (problem solving). Sebenarnya hal ini juga terjadi pada lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang amat lemah dalam logika dan analisisnya.
Hal ini seharusnya dapat ditangani lebih jauh. Budaya menghapal hendaknya diganti dengan pemahaman bacaan. Kognisi beralih kepada literasi. Siswa-siswi harus diajar untuk bertindak, berperilaku, dan beretika. Dan ini tidak bisa digapai dengan menghapal. Guru-guru dan tenaga pendidikan harus memberi contoh kepada anak murid.
Upaya Mendikbud untuk mengganti UN dengan assessment berbasis kompetensi patut dihargai. Namun hal ini harus diikuti dengan perbaikan metode belajar. Menghapal kini sudah tidak zamannya lagi. Â Siswa harus diajari dengan pelajaran yang mengasah otak. Khususnya pemecahan masalah. Dengan demikian, siswa tidak gagap lagi ketika berhadapan dengan kenyataan di luar sekolah. Wallahu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H