Sejarah mencatat perubahan sosial di tengah masyarakat tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki. Banyak perempuan yang kemudian turut serta mengubah pola pikir dan membangun bangsanya.
Sejarah juga mencatat bahwa kaum perempuan punya andil yang cukup besar dalam perjalanan sejarah. Padahal di awal abad ke-19, 99 persen kaum perempuan pribumi di Hindia Belanda buta huruf dan terbelakang dalam seluruh sektor kehidupan.
Tempat kaum perempuan dahulu dalam kehidupan hanya berada di ranah "kasur, dapur, dan sumur". Wanita ditempatkan sebagai pembantu kaum lelaki. Mereka bahkan tidak mempunyai hak untuk memajukan dirinya sendiri. Di era penjajahan, kondisi kaum perempuan berada dalam ketidakberdayaan, bodoh, dan diremehkan.
Namun dalam perjalanan sejarah, beberapa tokoh perempuan bangkit setelah merenungi kondisi kaumnya. Mereka bertekad untuk membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan oleh sistem sosial yang cenderung menguntungkan kaum lelaki.
Di Jawa, perjuangan ibu Kartini yang setelah resah dan gelisah melihat kondisi kaumnya berupaya membangun sekolah sederhana untuk mendidik kaum perempuan. Hal yang sama juga terjadi di Bumi Parahyangan ketika Ibu Sartika juga mengadakan kursus keterampilan bagi kaum wanita pribumi.
Kondisi yang sama juga terjadi di Ranah Minang. Cengkeraman adat yang begitu kuat menempatkan wanita di belakang kaum lelaki. Kondisi kaum perempuan sungguh memprihatinkan. Mereka dilanda kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan yang akut.
Walaupun masyarakat Minangkabau menganut adat matrilineal yang menarik garis kesukuan dari pihak perempuan, namun secara adat yang berkuasa adalah ninik mamak atau saudara lelaki ibu. Merekalah yang berwenang mengambil keputusan dalam suku dan kaum. Perempuan tidak diajak bicara.
Perubahan sosial di Minangkabau dimungkinkan dengan gerakan pembaruan Islam yang dipimpin kaum muda yang baru pulang belajar dari Mesir sekitar 1920-an. Mereka membawa angin perubahan dalam segi hukum syariah dan kebudayaan Islam di Minangkabau.
Mereka amat terpengaruh pada pandangan modernis Muslim, Syaikh Muhammad Abduh, yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar. Pandangan-pandangan agama yang tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman harus ditafsirkan ulang. Kaum modernis menyerukan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta menghargai ilmu pengetahuan.
Angin pembaruan ini juga bertiup di Minangkabau. Kaum tuo yang mewakili kaum tarekat dan sufi menolak pandangan kaum modernis. Gesekan antar kaum muda dan kaum tuo tidak terelakkan.
Kaum tuo yang bermarkas di surau-surau tetap mempertahankan tradisi dan budaya yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Tapi lebih merupakan pendapat para ulama terdahulu dan pengaruh budaya lokal.