Gerakan mahasiswa seharusnya tidak saja menjadi parlemen jalanan, tetapi harus juga menjadi gerakan intelektual. Para mahasiswa adalah kader-kader intelektual bangsa Indonesia. Mereka suatu saat nanti akan memimpin negeri ini. Tapi bagaimana mereka akan memimpin negeri ini kalau mereka tidak gemar membaca.
Para wakil rakyat yang mereka demo adalah mantan-mantan aktivis mahasiswa. Seharusnya mereka bisa memahami gejolak kaum muda. Sayangnya, mereka tidak belajar dari sejarah dan perjalanan hidup mereka sendiri. Histoire se repete, sejarah terus berulang begitu kata orang Perancis.
Salah-satu kritik terhadap gerakan mahasiswa adalah bahwa mereka tidak atau belum membaca naskah asli dari UU KPK hasil revisi dan RUU KUHAP. Namun setidaknya mereka membaca berita dari banyak sumber baik dari situs berita atau media cetak. Di era majunya teknologi, informasi dapat beredar dengan cepat di media sosial.
Gerakan mahasiswa bergerak sebagai akumulasi kekecewaan terhadap DPR dan Presiden. Rakyat Indonesia sudah sering mendengar tentang kelakuan anggota DPR. Awalnya rakyat diam saja. Baru ketika terjadi polemik tentang UU KPK kegelisahan tersebut tidak dapat dibendung lagi. Namun rakyat tidak bisa bergerak sendiri karena berbagai macam faktor. Gerakan mahasiswa yang kemudian mewakili suara mereka. Suara mahasiswa adalah suara rakyat.
Kita berharap pemerintah dan DPR mau mendengar suara mahasiswa dan tidak terburu-buru mengatakan aksi mereka ditunggangi. Sementara itu marilah kita latih para mahasiswa kita untuk menulis dengan baik. Wallahu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H