Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Oksidentalisme Versus Orientalisme

25 September 2019   11:12 Diperbarui: 25 September 2019   11:29 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Orientalisme mungkin sudah diketahui oleh banyak orang.  Namun oksidentalisme belum terdengar biasa. Padahal wacana oksidentalisme merupakan gagasan yang brilian. Gagasan ini berasal dari Hasan Hanafi seorang intelektual Muslim dari Mesir. Gagasan Oksidentalisme adalah upaya memahani Barat.

Selama ini Timur selalu dijadikan obyek kajian oleh akademisi Barat. Universitas-universitas di Barat banyak yang mempunyai pusat studi mengenai Timur. Bangsa-bangsa Timur selalu eksotis untuk dipelajari. 

Peradaban Timur yang kaya dan eksotis seakan belum terjamah peradaban Barat yang mengklaim dirinya universal.  Kebudayaan Timur seakan belum mampu dipahami oleh masyarakat Barat. Dalam ranah kebudayaan sering disebutkan Barat adalah peradaban yang rasional, sedangkan kebudayaan Timur itu emosional.

Film-film Barat sering kali mengisahkan keperkasaan Barat yang rasional berhadapan dengan peradaban Timur yang emosional. Aktor-aktor Barat sering kali gagah perkasa yang ditemani dengan aktris-aktris wanita Asia. 

Mitos tersebut harus dibongkar. Film-film Barat cenderung menampilkan budaya patriarki dan misoginis. Masyarakat Barat digambarkan sebagai masyarakat yang maju, kaya, dan mempunyai teknologi tinggi Sedangkan masyarakat Timur digambarkan sebagai masyarakat bodoh, terkebelakang, dan tidak punya teknologi.

Konsep "Timur" dan "Barat" sendiri adalah katagori yang menyesatkan. Konsep Timur sendiri adalah sesuatu yang kabur dan tidak jelas. Definisi "Timur" adalah sesuatu yang ambigu. 

Apa yang dimaksudkan sebagai bangsa-bangsa sebenarnya  ditujukan kepada bangsa-bangsa Asia. Namun benua Asia sendiri sangat heterogen yang terdiri banyak suku dan bangsa. Asia sendiri tidak monolitik. Ada Asia Barat, Tengah, Timur, Tenggara dan Selatan.  Masing-masing memiliki kebudayaan yang unik. Asia mencakup Saudi Arabia di Barat sampai Jepang di Timur.

Ras, warna kulit, dan bahasanya pun pun berbeda. Topografinya pun berbeda-beda. Ada yang bergurun pasir seperti di Arab Saudi, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah. Namun ada mempunyai pegunungan tinggi dan bersalju seperti Nepal, India, dan China.

Sedangkan yang dimaksud "Barat" adalah negara-negara Eropa Barat plus Amerika Serikat (AS). Termasuk dalam hal ini adalah negara-negara yang dikatagorikan persemakmuran Inggris, seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Negara-negara ini banyak dihuni oleh orang-orang Eropa.

Negara-negara Barat telah mengkolonialisasi negara-negara Timur selama berabad-abad. Untuk menguasai negara-negara tersebut, mereka membutuhkan para ahli untuk meneliti kebudayaan negara-negara tersebut. Mereka ingin menguasai jiwa dan raga pada penduduk negara-negara terjajah. Untuk itu mereka mendirikan pusat-pusat studi.

Negara-negara kolonial seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, Belgia, dan Italia mengirimkan sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial untuk meneliti kebudayaan negara-negaraa terjajah. Kolonialisme adalah mimpi buruk bagi negara-negara terjajah. Barat menguras kekayaan negara-negara dunia ketiga. Warisan dari penjajahan Barat adalah trauma berkepanjangan terhadap negara-negara bekas terjajah. Barat ingin menguasai Timur, baik manusia maupun kebudayaan.

Di sini masyarakat ilmuwan Barat berusaha memetakan masyarakat non-Barat. Barat menempatkan masyarakat non-Barat sebagai obyek kekuasaan. Di balik jargon ilmiah Barat dalam kajian budaya, ada upaya mendominasi dan menghegemoni masyarakat non-Barat. Pengetahuan dijadikan sebagai alat untuk menguasai bangsa-bangsa lain. Di sini ilmu pengetahuan --terutama ilmu-ilmu sosial- bukanlah sesuatu yang netral. Kajian-kajian terhadap masyarakat non Barat adalah alat untuk menundukkan mereka. Kajian-kajian tersebut diambil dari perspektif masyarakat Eropa yang bagi mereka lebih rasional dan lebih modern.

Sedangkan oksidentalisme merupakan upaya untuk memahami Barat. Menurut Hasan Hanafi, oksidentalisme tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk melawan hegemoni Barat melainkan untuk menciptakan ruang-ruang diskusi baru di kalangan Muslim. 

Peradaban Barat pun harus dikaji agar tercipta keseimbangan. Orientalisme harus dilawan dengan oksidentalisme. Agar Barat juga menjadi obyek kajian bagi kalangan non-Barat.

Selama ini masyarakat Timur selalu menganggap Barat lebih superior dari mereka. Sehingga muncul rasa rendah diri terhadap peradaban Barat. Namun kini, negara-negara Asia Timur  mulai menggeser kedigdayaan negara-negara Eropa Barat dan Amerika.  Masyarakat Eropa yang mulai keteteran menghadapi kebangkitan masyarakat Asia membentuk Uni Eropa.

Globalisasi telah menyebabkan dunia saling terkoneksi satu sama lain. Sayangnya negara-negara Timur Tengah hanya menjadi penonton terhadap proses globalisasi ini. 

Hanya negara yang dapat memanfaatkan globalisasi yang bisa menjadi pemenang. Oksidentalisme dibutuhkan oleh para intelektual Muslim untuk memahami peradaban Barat seutuhnya. Negara-negara Barat memanfaatkan globalisasi sebagai sarana untuk menyebarluaskan kebudayaan mereka. Mereka terus berusaha menghegemoni dunia.

Oksidentalisme diperlukan untuk menganalisis hegemoni Barat saat ini. Oksidentalisme tidak hanya menganalisis narasi-narasi besar seperti kapitalisme, sosialisme, dan Marxisme, tetapi juga kajian budaya populer seperti film, musik, novel, dan karya sastra lainnya. 

Di media-media populer, Timur digambarkan sebagai negeri tuan tanah, bangsawan, dan orang-orang fanatik. Hal ini sudah dimulai oleh almarhum Edwad Said dalam bukunya "Orientalism". 

Dalam buku ini, Said mengkaji bagaimana representasi Timur (Tengah) dalam sastra dan budaya Barat. Ia mendapati bahwa sastra Barat berusaha menampilkan Timur sebagai wilayah barbar yang harus ditundukkan oleh modernisasi.

Namun segala representasi tentang Timur semakin tidak relevan dengan maraknya pembangunan di negara-negara Timur. Gambaran tentang China pada era 1940-an akan berbeda dengan China sekarang. Begitu juga dengan negara-negara Arab di Timur Tengah. Perubahan sosial yang telah terjadi menjadikan kajian orientalisme telah menjadi usang. Kini negara-negara Timur telah bertransformasi menjadi negara-negara modern.

Pengkaji Timur dari Barat saat ini lebih memperhatikan kemajuan ekonomi negara-negara Timur. Mereka tidak lagi melihat negara-negara Timur sebagai underdog. 

Kemajuan ekonomi yang masif ini telah mencengangkan para peneliti, pengkaji, akademisi, dan ilmuwan dari  Barat. Kemajuan ekonomi Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Oman telah menjadi hal yang menakjubkan bagi negara-negara Barat.

Oksidentalisme kini dapat menjadi wacana alternatif bagi pengkajian budaya. Peneliti dan akademisi di Negara-negara Timur dapat melakukan kajian terhadap budaya dan peradaban Barat. Dialog antar peradaban adalah sesuatu yang mungkin dan hal ini harus terus dilakukan. Wallahu a'lam bishowab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun