Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Homo Economicus vs Homo Socius

28 Agustus 2019   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2021   08:37 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sangat populer di kalangan ekonom bahwa manusia adalah makhluk rasional. Rasionalitas ekonomi berarti manusia berusaha mengejar kepentingannya sendiri. Manusia, menurut Adam Smith, adalah homo economicus atau manusia ekonomi yang selalu memakmasimalkan kepentingannya sendiri.

Menurut Adam Smith, manusia pada dasarnya adalah egois. Dibalik perbuatan-perbuatan baiknya tersimpan beragam kepentingan. Tidak ada manusia yang tulus ikhlas dalam melakukan perbuatan baiknya. Tujuan hidup manusia di dunia adalah to pursue of happiness (mengejar kebahagiaan) walaupun untuk itu manusia harus berebutan dengan orang lain.

Teori manusia egois menjadi dasar falsafah dan paradigma sains modern. George Santayana mengatakan, "Dorongan untuk berbuat baik ...hanyalah  kemunafikan yang menipu diri... Galilah sedikit di bawah permukaan, Anda akan mendapatkan manusia yang rakus, kepala batu, dan benar-benar mementingkan diri sendiri."

Baca juga: Homo Economicus, Homo Cooperativus, dan Koperasi Kredit

Prinsip ekonomi ditegakkan atas dasar kepentigan diri sendiri. Jeremy Bentham menceritakan bahwa manusia digerakkan untuk prinsip-prinsip mengejar kesenangan sendiri. Francis Edgeworth pada 1880 berkata, "prinsip pertama dalam ekonomi ialah setiap agen digerakkan oleh kepentingan dirinya."

Homo economicus diambil dari ilmu biologi. Para ekonom klasik menganggap di dalam alam semesta, terjadi proses perebutan hidup. Seluruh hewan selalu bertarung satu sama lain untuk bisa selamat dalam proses seleksi alam. Hewan-hewan tersebut saling mengalahkan demi kepentingan sendiri. Adalah pemikiran Charles Darwin yang mengatakan di alam raya terjadi konflik antar sesama hewan dan sesama manusia semata-mata untuk bertahan hidup.

Pemikiran Darwin tersebut kemudian diejawantahkan dalam konteks manusia. Manusia saling berebut untuk mempertahankan hidup. Negara-negara saling berperang untuk menjadi yang terbesar dan mempertahankan eksistensinya di dunia ini. Para ekonom percaya bahwa manusia pada dasarnya egois. Mereka saling memaksimalkan keuntungan mereka sendiri.

Namun pada dasarnya manusia adalah makhluk yang kompleks. Anggapan Darwin tersebut terlalu menyederhanakan. Manusia selalu mencari untung untuk kepentingannya sendiri. Padahal manusia adalah makhluk yang berketuhanan dan berkemanusiaan.

Manusia adalah makhluk sosial. Ia punya kecenderungan untuk bersikap altruistik (berkorban untuk orang lain). Manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungan manusia di mana ia hidup. Manusia adalah makhluk multidimensi. Manusia sangat unik. Manusia mempunyai unsur ketuhanan pada dirinya. Namun ia juga unsur keduniawian. Ia punya kecenderungan untuk menggapai kebahagiaan bersama.

Baca juga: Economics of "Ena-ena": Homo Lubido atau Homo Economicus?

Manusia adalah homo socius (makhluk yang berteman). Manusia juga makhluk moral yang selalu mempertimbangkan baik dan buruk perbuatannya. Manusia juga disebut homo faber (makhluk yang menciptakan alat-alat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun