Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menghapus Mental "Inlander"

23 Juli 2019   07:07 Diperbarui: 23 Juli 2019   07:08 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah-satu masalah besar bangsa Indonesia adalah bagaimana menghapus mental inlander (pribumi/budak) yang sekian lama bercokol dalam diri individu-individu negeri ini. Mental inlander merupakan penyakit mental yang sulit diberantas. Perlu keberanian dari pemimpin-pemimpin bangsa ini untuk membawa bangsa Indonesia ke gerbang kemandirian dan kemerdekaan sejati.

Selama 350 tahun dijajah berbagai bangsa di dunia, mereka menanamkan sifat rendah diri, koruptif, licik, suka mengeluh, penakut, tidak berani mengambil resiko, curang, suka menggunting dalam lipatan, tidak disiplin, ke dalam psyche  (jiwa) bangsa Indonesia.

Sebenarnya kaum intelektual terdahulu pada masa revolusi kemerdekaan berusaha menghapus mental inlander ini. Tapi nyatanya penyakit ini sudah bercokol terlalu dalam diri bangsa Indonesia dan tidak bisa disembuhkan secara instan. Perlu keberanian dan tekad dari seluruh elemen bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari mental inlander ini.

Bangsa-bangsa Asia lain sudah mulai melepaskan diri dari mental inlander  Mereka bahkan mampu berpikir. Mereka mengadaptasi pola pikir rasional Barat, tapi mereka tidak menjadi Barat. Pada masa Orde Lama dahulu, kita punya Bung Karno yang berupaya menghapuskan mental inlander ini. Mental pecundang ini harus dikikis habis kalau bangsa Indonesia mau berjaya di pentas internasional.

Malaysia punya Mahathir Mohammad yang dengan tegas menolak IMF dan demokrasi liberal pada krisis ekonomi 1997-1998. Mahathir punya cara sendiri untuk mereformasi ekonominya tanpa didikte lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara Barat.

Mahathir berani melawan hegemoni Barat Ia mengubah mental rakyatnya dengan pendidikan dan ekonomi. Mahathir menciptakan sistem politik dan ekonomi yang berpihak kepada bumiputra. Mahathir tahu betul bahwa demokrasi liberal berbahaya bagi bangsanya.

China dahulu punya Deng Xiaoping yang membawa bangsanya menuju liberalisasi ekonomi dan mendominasi perdagangan dunia. Singapura juga  punya mendiang Lee Kuan Yew.

Menurut Kishore Mahbubani, mantan diplomat Singapura, bangsa-bangsa Asia telah mampu berpikir mandiri, tanpa harus bergantung pada pemikir-pemikir yang pro Barat. 

Mereka bisa berpikir kenapa negara mereka tidak semaju Barat. Mereka berani merancang masa depan bangsanya sendiri. Mereka berani menetapkan visi pembangunan mendatang dengan optimis.

Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sebenarnya ada sebagian kecil bangsa Indonesia yang mampu berpikir. Indonesia punya sekian banyak sarjana, master dan doktor, baik lulusan dalam dan luar negeri yang berprofesi sebagai akademisi, birokrat, kaum profesional, dan lain sebagainya.

Mereka memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Namun sayang hanya sebagian elit yang tertarik pada dunia ilmu dan gagasan. Bangsa Indonesia belum sepenuhnya lepas dari mental inlander.

Pembangunan kita lebih mengutamakan aspek material ketimbang mental dan kebudayaan. Bangsa Indonesia dididik untuk konsumtif.  Masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat konsumen (consumer society) dengan budaya konsumtifnya (consumer culture) yang luar biasa. Masyarakat Indonesia nyaris kehilangan nalar dan hati nuraninya. Arus deras informasi lewat internet atau media sosial  ternyata malah mempertajam konflik bangsa ini.

Kita dengan mudah dipengaruhi oleh pihak-pihak asing. Bangsa kita mudah dipermainkan bangsa-bangsa asing. Elit-elit politiknya berkiblat ke negara-negara demokrasi maju seolah-olah bangsa ini tidak mempunyai budaya politiknya sendiri. Dalam negosiasi dengan pihak asing, para pejabat kita terlihat minder dan tidak percaya diri.

 Geopolitik kita terlalu berkiblat Pulau Jawa. Kita mengklaim sebagai bangsa maritim namun kenyataannya pembangunan sektor kelautan sering kali tidak diutamakan. Sejarah membuktikan kerajaan-kerajaan di pedalaman Jawa menyuburkan praktik pemberian upeti kepada penguasa dari rakyat jelata. Ini merupakan cikal-bakal praktik korupsi di tanah air.

Korupsi dianggap wajar dan rezeki dari Tuhan sehingga pelakunya merasa tidak bersalah. Mental-mental sisa masa lalu dan ditambah perlakuan yang menghinakan yang dilakukan pihak penjajah memperparah mental inlander yang dialami bangsa Indonesia. Mental semacam ini harus segera direvolusi.

Sebenarnya Revolusi Mental yang digagas Presiden Joko Widodo berupaya untuk merevolusi mentalitas bangsa Indonesia ke arah yang lebih modern. Sayangnya, upaya ini hanya berhenti sebatas program. Sedangkan implementasinya sangat tidak efektif.

Sebenarnya salah-cara untuk mengubah mentalitas bangsa Indonesia adalah melalui pendidikan dan bahan bacaan. Namun rupanya dunia pendidikan kita tidak lepas dari mental inlander tersebut. Anak didik menjadi pasif dan kurang kreatif walaupun perubahan paradigma pendidikan telah diubah secara signifikan.

Masyarakat Indonesia kurang suka membaca. Survey UNESCO yang merilis bahwa hanya 1 di antara 1.000 orang Indonesia yang punya minat baca serius seharusnya menjadi concern kita. Dengan membaca, kita bisa mengubah mindset masyarakat kita.

Para elit politik harus mempunyai visi ke depan. Para pemimpin bangsa harus mampu mengubah mentalitas bangsa Indonesia. Presiden Indonesia harus mempunyai karakter kuat, tidak mudah berkompromi dengan pihak-pihak tertentu, dan mempunyai mental baja. Bukan penakut dan pecundang.  Ia harus berani menghadapi cercaan dan makian serta bertindak tidak populer. Ia harus menjadi singa yang mengaum bukan kambing yang mengembik.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun