Tulisan ini mencoba sedikit memotret kehidupan masyarakat Indonesia berkaitan dengan pengetahuan. Sepanjang pengetahuan saya, masyarakat awam cenderung emoh pada pengetahuan. Mereka lebih  menyukai hiburan daripada hal-hal yang menambah wawasan dan pengetahuan.
Mengapa saya berkesimpulan demikian? Setelah berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai latar-belakang, hanya sedikit yang benar-benar terpelajar dalam arti mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas. Mereka yang  pernah kuliah di perguruan tinggi tidak serta-merta terpelajar. Banyak di antara mereka tidak tahu banyak tentang kondisi dunia saat ini.
Sinetron-sinetron dan acara gosip memperoleh rating yang tinggi. Orang Indonesia lebih suka dibuai mimpi akan kemewahan daripada memecahkan persoalan kehidupan yang lebih nyata. Padahal otak orang yang membaca atau berilmu pengetahuan berbeda dengan mereka yang tidak memiliki pengetahuan. Berapa buku yang rata-rata orang Indonesia baca dalam setahun. Menurut penyair Taufik Ismail, Â nol buku!
Sekolah-sekolah di Indonesia tidak mengajari peserta anak didiknya untuk membaca buku atau menambah wawasan dan pengetahuan yang luas. Coba lihat saja di KRL, orang-orang lebih sibuk  bermain gadget  daripada membaca koran atau majalah. Coba tanya kepada orang-orang mengenai isu terkini. Banyak di antara mereka yang tidak mengerti.
Orang Indonesia sangat fanatik dalam beragama, namu mereka tidak mengetahui esensi agama tersebut. Padahal dalam Islam, perintah menuntut ilmu sama pentingnya dengan perintah sholat. Bahkan wahyu yang diterima kali oleh Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca, yaitu perintah untuk memperluas wawasan dan pengetahuan.
Keemohan dan keengganan manusia Indonesia untuk memperoleh pengetahuan disebabkan oleh banyak faktor. Menurut saya, ada beberapa hal yang menyebabkan orang Indonesia malah memperoleh pengetahuan.
Pertama, televisi mencitrakan orang yang baca buku atau banyak pengetahuan sebagai orang yang aneh. Para penulis dan sutradara sinetron cenderung menggambarkan orang yang kutu buku sebagai orang aneh, tidak pandai bercinta, dan kaku. Gambaran ini tidak terlepas dari budaya populer Amerika yang juga mencitrakan hal yang sama.
Kedua, budaya populer menyebabkan generasi muda tidak suka membaca buku kecuali bacaan-bacaan yang ringan. Â Budaya populer menjerumuskan orang untuk menyukai hiburan yang dangkal daripada yang memberi wawasan dan pengetahuan,. Musik yang easy-going lebih disukai oleh para remaja daripada mendengarkan gamelan. Gaya hidup Barat telah menerpa generasi muda kita.
Ketiga, penetrasi teknologi yang lebih mudah dan murah menyebakan  kebiasaan membaca buku menjadi tergerus. Munculnya internet telah menggerus budaya baca buku. Youtube menyiarkan beragam video setiap hari.  Untuk apa membaca (buku) kalau tutorial segala sesuatu tersedia di youtube.
Penerbit buku pun terpaksa menuruti selera pasar. Pasar buku menginginkan bacaan yang ringan dan populer. Untuk itu bacaan-bacaan yang berat harus dikurangi dan diganti dengan bacaan yang lebih populer. Para penerbit bertindak pragmatis. Buku-buku bertema berbobot kurang laku di pasaran.
Kita patut mempertanyakan di mana kaum intelektual kita? Apakah mereka berumah di atas angin? Bukankah tugas kaum intelektual adalah mencerahkan masyarakat dengan pengetahuan, wawasan, dan kearifan yang mereka miliki?