Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menggugat PDB

28 November 2018   06:40 Diperbarui: 4 Januari 2019   02:14 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Keberadaan PDB sebagai satu-satunya indikator pertumbuhan ekonomi mulai dikritik banyak kalangan. Club of Rome sebagai perkumpulan intelektual dari MIT (Massachusset Institute of Technology) mulai mengkritik penggunaan indikator ini. PDB dianggap cacat secara ilmiah bahkan cenderung bias. PDB tidak lepas dari teori-teori modernisasi dan pembangunan yang melulu menghitung PDB sebagai satu-satunya indikator dalam perekonomian.

Kesalahan prosedur dalam menghitung PDB terlihat dari cara menghitungnya. PDB cenderung menghitung tingkat konsumsi ketimbang produksi. PDB menjadi konsumersisme sebagai dasar untuk menghitung perekonomia suatu negara. Tidak hanya itu, PDB cenderung menutupi ketimpangan sosial di dalam suatu negara. Penghitungan PDB  cenderung tidak sahih dan lebih banyak bernuansa politis ketimbang benar-benar menggambarkan kondisi ekonomi pada suatu negara.

PDB sendiri tidak lepas dari realitas politik. Kemunculan PDB dimulai sejak tahun 1930an saat Amerika Serikat dilanda depresi besar. PDB muncul sebagai alternatif indikator perekonomian. Adalah Simon Kuznets, seorang ekonomi AS berdarah Yahudi, yang diserahi tanggung-jawab oleh pemerintah AS untuk menghitung perekonomian AS pasca Perang Dunia II. Kuznets mulai mengembangkan PDB sebagai indikator perekonomian yang dianggapnya paling hebat di era pasca PD II. Namun hal itu tidak lepas dari belanja militer dan konsumsi masyarakat AS pasca PD II.

Penghitungan PDB sendiri sering meluputkan masalah lingkungan dan kondisi masyarakat. PDB mengukur pertumbuhan ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan daya beli masyarakat. Sedangkan faktor-faktor non ekonomi  luput dari penghitungan PDB. PDB hanya mengukur aset-aset ekonomi seperti tanah, pabrik, tenaga kerja, dan sektor-sektor produksi lainnya. PDB yang dicetuskan Kuznets hanya menghitung data kasar.

Penghitungan PDB sendiri telah menciptakan jurang antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. PDB menurut Lorenzo Fioramonti penulis buku "Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi" merupakan kesalahan yang selalu ditutupi-tutupi. Namun sayangnya PDB sendiri telah masyhur bagi kalangan ekonom dan bisnis. Mereka tidak mengerti realitas dibalik PDB.

Kini masyarakat dunia menerima PDB taken for granted saja tanpa melihat sejarahnya. Lembaga-lembaga keuangan internasional menggunakan PDB sebagai indikator pertumbuhan ekonomi di suatu negara. 

Kinerja PDB dianggap sebagai salah-satu yang terpenting dalam pembangunan ekonomi. Hal ini lazimnya terjadi di negara-negara Barat yang kapitalis. Sedangkan di negara-negara sosialis pada umumnya mereka menolak kinerja PDB. Negara-negara sosialis mempunyai indikator sendiri dalam pertumbuhan ekonomi.  

*  * *

Kritik-kritik terhadap PDB terus bermunculan. Pemerintah China, misalnya, memperkenalkan indeks hijau di dalam penghitungan PDB mereka. Beberapa aktivis lingkungan lainnya memperkenalkan "degrowth" yaitu pertumbuhan ekonomi yang negatif untuk mendukung kemakmuran lingkungan. Pada hakikatnya, mereka mengkritik pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya indikator kemakmuran umat manusia. 

Pertumbuhan ekonomi telah mengorbankan lingkungan alam. Ilmu ekonomi, menurut mereka, harus diganti menjadi bioekonomi, yakni ilmu ekonomi yang memperhatikan lingkungan hidup.

Pembangunan model PDB tidak berkesinambungan dan tidak manusiawi serta merusak sumber daya alam. Ilmu ekonomi ekologi saatnya mulai dipelajari. Pertumbuhan ekonomi telah menyisakan cerita pilu bagi masyarakat pribumi. 

Di berbagai negara, pemerintah ramai-ramai membuka perekonomiannya bagi perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini mengeksploitasi sumber daya alam. Sayangnya, hal ini tidak diikuti rehabilitasi. Kerusakan lingkungan terjadi di berbagai daerah.

Tidak hanya itu, pemerintah daerah cenderung meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya indikator pembangunan di daerah. Pertumbuhan ekonomi dianggap satu-satunya tolok ukur keberhasilan pembangunan daerah. Sedangkan sektor-sektor yang lain dipinggirkan begitu saja.

Untuk mengganti PDB sebagai indikator utama pembangunan, UNESCO menciptakan Human Development Index (HDI/Indeks Pembangunan Manusia) sebagai indikator alternatif pembangunan di suatu kawasan. HDI mengukur tingkat literasi, pendidikan, budaya, kesehatan, dan akses kepada sumber informasi. HDI diciptakan untuk menghitung hal-hal yang tidak bisa dihitung PDB.

Jelaslah sudah, PDB merupakan perangkap ekonomi yang sangat cerdas. Penekanan pada PDB telah menyebabkan sektor-sektor yang lain terbengkalai. Ekonomi telah menjadi faktor yang paling penting di era globalisasi ini. PDB telah menjadi jargon politik yang selalu didengang-dengungkan oleh para pemimpin politik. 

Pertumbuhan ekonomi dan PDB seolah dianggap sebagai "harga mati" yang harus dicapai oleh seorang pemimpin politik.  Padahal pertumbuhan ekonomi sendiri harus dikoreksi. Perekonomian dunia tidak mungkin terus-menerus tumbuh, menurut para cendekiawan yang tergabung dalam Club of Rome. Mereka bahkan menulis buku berjudul "Limit to Growth". Pembangunan ekonomi ada batasnya dalam pandangan mereka.

Mungkin kita perlu berpaling ke Mahatma Ghandi. Ia pernah berkata, "Bumi mampu mencukupi kebutuhan seluruh manusia, tapi Bumi tidak mampu memenuhi kerakusan manusia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun