Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rindu Rendra dan Sajak yang Membebaskan

28 Agustus 2018   07:00 Diperbarui: 28 Agustus 2018   08:44 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hiburan.metrotvnews.com

Rendra memang telah berpulang 9 tahun lalu. Namun ia telah meninggalkan jejak kehidupan yang terekam oleh sahabat-sahabatnya. Rendra, si burung Merak, telah memberi nuansa baru dalam kehidupan sastra Indonesia. 

Sajak-sajak Rendra adalah sajak kekritisan kepada kezaliman. Bagi Rendra, sastra adalah sebuah kehidupan bukan sekedar penghidupan. Sastra seharusnya memberi arti kepada masyarakatnya. Bukan sibuk dengan puisi-puisi cinta yang tak mencerahkan. Sastra seharusnya memberi pembebasan bukan membelenggu kehidupan.

Bagi Rendra, sastra seharusnya mencerminkan kehidupan masyarakatnya. Sastra seyogianya memberikan pesan. Sastra yang baik memberikan pencerahan, bukan berkelit di antara kata-kata manis. 

Rendra memberi contoh bagaimana kritik-kritik sosial dalam karya-karyanya mampu menampung aspirasi masyarakat. Kritik-kritik sosial dalam karya-karya Rendra merupakan kegelisahan semua orang, terutama kaum terdidik. Rendra mencontohkan bahwa sastra bisa menjadi alat pembebasan.  Puisi-puisi Rendra tidak banyak dibumbui dengan kalimat-kalimat figuratif, tetapi dengan realisme yang khas.

Rendra adalah sastrawan besar yang hidup bersama rakyat kebanyakan. Meminjam istilah Gramsci, Rendra adalah intelektual organik. Intelektual yang hidup bersama rakyatnya. Ia menyerap denyut-nadi, kegelisahan, dinamika kehidupan masyarakat. 

Rendra bicara politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan bahasa yang dipahami rakyat kebanyakan. Rendra bicara keindahan, tapi tidak memubazirkan kata-kata.

Kenangan mengenai Rendra terekam di benak sahabat-sahabatnya. Dalam rangka peringatan 17 Agustus dan haul Rendra, sejumlah sahabatnya memberikan kesaksian tentang Rendra.  Hal ini terangkum dalam acara"Rindu Rendra: Rakyat Belum Merdeka" , Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (17/8). Di antara sahabat-sahabat Rendra ada Rizal Ramli yang berkisah bagaimana ia mengundang Rendra dalam sebuah acara baca puisi di ITB pada tahun 1977.

Dalam sebuah puisinya, Rendra berteriak dengan keras bahwa rakyat Indonesia belum merdeka. Rendra gelisah melihat dunia politik saat ini yang sarat penipuan dan korupsi. Rendra bahkan pernah mengatakan bahwa politisi sekarang tidak tahu sejarah. Bagaimana mereka akan mengetahui sejarah kalau mereka tidak pernah membaca sejarah? Kealpaan terhadap sejarah merupakan suatu hal yang memalukan bagi pejabat publik seperti mereka.  

Kerinduan terhadap Rendra terus terasa hingga kini. Tak ada sastrawan yang kini yang aktif menyuarakan kritik-kritik sosial seperti Rendra. Rendra tahu politik, ekonomi, dan budaya. Suara Rendra lantang menantang kezaliman. Ia seperti tidak pernah takut. Ia tak takut pada bedil. Suaranya adalah suara hati nurani. 

Sayangnya, generasi millenials tidak terlalu tertarik pada puisi, apalagi sastra. Mereka lebih sibuk dengan smartphone daripada bergulat dengan masalah kehidupan. Gawai merupakan sarana pelarian dari kenyataan. Remaja sekarang lebih bereksistensi di media sosial daripada dalam kehidupan nyata. Sastra di negeri ini meninggalkan seribu tanya. Masih ia bertahan di era internet?

Rendra sangat peduli terhadap masa depan negeri ini. Dalam salah--satu puisinya Rendra berdoa kepada Tuhan agar anak cucunya terselamatkan dari roda zaman.

Rendra telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk bangsa ini. Ia telah memberi artt bagi kehidupan masyarakat. Mengingat Rendra merupakan sebuah cara untuk melawan lupa. Perjalanan untuk melawan kekuasaan adalah perjuangan untuk melawan lupa, kata Milan Kundera.

Melupakan Rendra berarti  melupakan sejarah republik ini. Rendra besar bersama Indonesia. Ia adalah saksi sejarah perjuangan bangsa ini. Sebuah bangsa yang sangat dicintainya. 

Prestasi Rendra haruslah menjadi motivasi baru bagi generasi saat ini. Menulis adalah mencinta. Menulis bagaikan api, sedangkan membaca adalah air. Selamat jalan Rendra. Semoga kau tenang di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun