Seperti tahun-tahun yang lewat, Idul Adha tahun ini dilaksanakan sebagai biasa. Sholat Ied, menyembelih sapi atau kambing, dan membagikan kepada fakir miskin. Sebagian daging dimasak sendiri atau diberikan kepada sanak kerabat. Di negeri ini, setiap Idul Adha masyarakat ramai-ramai membuat sate di malam hari. Kekeluargaan merupakan salah-satu ciri bangsa Indonesia.
Namun sebenarnya ada yang tidak biasa Idul Adha tahun ini. Pemilihan kepala daerah, gempa di Pulau Lombok dan penyelenggaraan Asian Games terjadi berdekatan waktunya. Ini memilukan kita. Di saat sebagian bangsa Indonesia tengah berduka, di Jakarta, kita berpesta pora menyambutnya Pesta Olahraga Asia digelar.
Apa maksud Tuhan dengan ini semua? Mengapa sebagian orang tengah berbahagia sedangkan sebagian lagi menderita? Tapi hanya Tuhan yang tahu maksudnya. Kita di dunia hanya berspekulasi saja.
Sebagai sebuah negara tropis, Indonesia terletak di ring of fire atau cincin api. Sebuah lingkaran gunung berapi yang masih aktif. Wilayah Indonesia rentan dengan berbagai bencana, baik yang disebabkan alam maupun oleh manusia.Â
Untuk bencana yang  diakibatkan alam, BMKG, BNPB, dan aparat lainnya telah sigap membantu. Sedangkan bencana karena ulah manusia lebih kompleks lagi karena menyangkut permainan kekuasaan, relasi kuasa dan korupsi. Bencana yang diakibatkan ulah-ulah tangan manusia dapat dilihat di seluruh negeri.
Begitu sering longsor di negeri ini. Masyarakat kian terhimpit. Pengalihan lahan produktif menjadi pemukiman dan pusat perbelanjaan menjadikan tanah tidak mampu meresap air lagi. Akibatnya banjir bandang di mana. Sayangnya, pendekatan pemerintah terhadap masalah ini cenderung kuratif bukan preventif. Pemerintah baru bertindak kalau ada masalah. Kalau tidak  ada masalah cenderung didiamkan saja. Akibatnya permasalahan menjadi terlalu berlarut-larut dan penyelesaiannya memakan waktu dan biaya cukup besar.
Pesan Idul Adha adalah agar manusia hidup dalam cinta kasih. Saling mengasihi itu mudah. Tidak memerlukan biaya mahal. Idul Adha mengajarkan arti sebuah pengorbanan. Nabi Ibrahim AS meninggalkan anak dan istrinya di sebuah lembah tak bertuan yang tandus dan gersang.Â
Siti Hajar dan Ismail, putranya yang baru dilahirkan itu, menerima perintah Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Ibrahim As. Namun Allah berkehendak lain. Tuhan membangkitkan air dari dalam bumi untuk Siti Hajar dan Ismail.
Idul Adha mengajarkan bahwa Allah tidak pernah memberatkan manusia. Setiap insan di dunia ini harus hidup harmonis dengan teman dan sahabatnya. Tuhan mengisyaratkaan bahwa kehidupan di dunia merupakan cerminan hidup di surga. Tuhan menguji Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya.
Anak adalah sumber ego seseorang. Anak merupakan perhiasan dunia. Kecintaan orang tua kepada anaknya kadang membuat mereka buta. Anak adalah bukti cinta kasih. Seseorang tega melakukan apapun demi anaknya. Idul Adha mencoba memutus rasa cinta  yang berlebihan kepada anak-anak. Anak-anak dapat menjadi sumber fitnah kepada orang tuanya. Tak jarang kecintaan seseorang kepada anaknya itu menjadi ujian bagi kedua orang tuanya. Idul Kurban mendidik manusia untuk melepaskan ego tersebut demi Allah SWT.
Kedua, Idul Kurban mengajarkan kita harus menyembelih sifat kebinatangan pada diri kita. Manusia adalah hewan yang berbicara. Sebenarnya umat manusia dikaruniai akal dan nafsu. Â
Binatang kurban merupakan simbol kebinatangan kita. Manusia yang tidak mampu mengontrol hawa nafsunya tak lebih seperti binatang ternak. Manusia yang mengikuti hawa nafsunya bagaikan hewan ternak yang menurunkan derajat kemanusiaanya.Â
Manusia yang tidak beriman juga seperti binatang ternak. Mereka dikaruniai akal tapi tidak mereka pergunakan untuk melihat ayat-ayat Allah yang terhampar di alam semesta ini.
Ketiga, Idul Kurban mendidik kita untuk berbagi. Agar daging binatang ternak tidak menjadi barang haram dalam tubuh kita, kita diharuskan berbagi dengan sesama. Semangat berbagi ini merupakan semangat Idul Kurban. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu butuh kepada orang lain. Banyak orang kecil yang sebenarnya sangat kita butuhkan dalam hidup kita. Kita tak dapat hidup tanpa jasa orang-orang yang kita anggap kecil itu.Â
Sebuah pabrik tidak mungkin bisa berjalan tanpa jasa buruh-buruh yang dibayar murah. Lingkungan kita tidak mungkin bersih tanpa jasa para penyapu jalanan. Bisnis kita tidak mungkin berjalan tanpa jasa supir, tukang parkir, sekuriti, office boy, para karyawan kitaa sampai yang lain-lain. Melalui Idul Kurban kita diingatkan untuk selalu saling berbagi dengan sesama.
Idul kurban melatih kita untuk peduli dengan sesama. Idul Kurban merupakan salah-satu cara untuk mengembalikan kemanusiaan kita. Itulah uniknya ibadah dalam Islam yang tidak lepas dari nilai-nilai kemanusiaan. Ibadah-ibadah mahdhah (vertikal) dalam Islam bersifat non-sacramental, kata almarhum Nurcholish Madjid.Â
Ibadah-ibadah dalam Islam tidak rumit. Hubungan antara seorang muslim atau mukmin dengan Tuhannya bersifat langsung tanpa perantara. Islam tidak mengenal adanya sistem kependetaan. Tidak ada pendeta yang memediasi hubungan Tuhan dan hamba-hamba-Nya.
Dengan menghayati Idul Kurban kita kembali kepada kemanusiaan kita. Ibadah Kurban sarat dengan nilai-nilai persaudaraan dan kepedulian sosial. Manusia adalah makhluk beradab. Jangan sampai kemanusiaan kita terjatuh pada titik nadir terendah. Kurban mengembalikan kepada fitrah kemanusiaan kita. Wallahu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H