Dramatis. Itu mungkin kata yang bisa diberikan kepada Malala. Kisah hidupnya mungkin tidak seperti anak-anak perempuan di berbagai belahan dunia. Mereka memperoleh pendidikan yang layak, bisa berjalan-jalan di mal, bercanda-ria sambil menonton bioskop dan menikmati junk food dengan ceria. Sedangkan Malala harus berjuang demi hak anak-anak perempuan Muslim khususnya di Pakistan untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Malala memang menjadi perhatian dunia beberapa tahun terakhir ini. Taliban tak menyukainya. Kelompok Islam ini bahkan menembak Malala tepat di kepala dan pundaknya. Namun Malala tak mati. Ia dilarika ke Inggris dan akhirnya sembuh. Sebenarnya mengapa Taliban begitu benci kepada Malala?
Malala sebenarnya memperjuangan anak perempuan Muslim untuk memperoleh pendidikan. Malala hidup di sebuah kawasan di Pakistan di mana Taliban berkuasa. Taliban melarang anak-anak perempuan Muslim untuk bersekolah.Â
Mereka beranggapan sesuai dengan penafsiran Al-Qur'an yang sangat konservatif tempat kaum perempuan adalah di rumah. Perempuan tidak boleh aktif di kehidupan publik apalagi memperoleh pendidikan. Dunia adalah milik kaum lelaki dan perempuan hanyalah pemuas seks dan tugasnya hanya melahirkan anak. Taliban melarang masyarakat untuk menonton film dan mendengarkan musik.
Malala melawan itu semua. Ia mengkampanyekan pendidikan untuk anak-anak perempuan. Malala terang-terangan melawan Taliban. Tidak bisa dipungkiri di era globalisasi ini masih ada kelompok-kelompok Islam konservatif yang menolak keberadaan kaum perempuan dalam kehidupan publik. Dan anehnya, kelompok-kelompok ini terus membesar di negara-negara muslim yang paling moderat sekalipun.Â
Di Indonesia, kelompok ini terus menunjukkan eksistensinya. Mereka mengharuskan wanita mengenakan jubah dan cadar dan mengurung kaum perempuan di rumah. Sementara itu, kelompok-kelompok teroris Islam bahkan menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai alat untuk melakukan teror. Perempuan dan anak-anak ini meledakkan dirinya di tempat-tempat publik. Ini sebuah kemunduran besar bagi umat Islam.
Kaum perempuan Muslim Indonesia
Sejarah Indonesia membuktikan betapa kaum perempuan telah mendapatkan kemerdekaannya dalam bertindak. Kita mengenal para pejuang kaum perempuan seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Rahmah El-Yunusiyah, Rohana Koedoes, dan HR Rasuna Said. Mereka berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi perempuan sejak yang terkungkung oleh adat dan penafsiran agama yang sempit. Sejak awal abad ke-20, mereka memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, termasuk dalam memperoleh pendidikan.
Di Minangkabau, Rahmah El-Yunusiyah membangun Madrasah Diniyah lil Banat sejak tahun 1910-an. Kini Madrasah tersebut telah berkembang menjadi sekolah agama terkemuka di Asia  Tenggara.Â
Rahmah jelas menentang kekolotan adat dan kaum agama di Minangkabau pada waktu itu. Rahmah kemudian memperoleh gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azhar karena peranannya dalam memajukan pendidikan kaum perempuan muslim.
Sedangkan Rohana Koedoes adalah perempuan jurnalis pertama di Indonesia. Ia aktif dalam membangun Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang pada dekade 1910-an. Selain itu, Rohana Koedoes menerbitkan koran perempuan pertama di Indonesia, Soenting Melayoe, dengan bantuan Soetan Maharadja, yang mendapat apresiasi luas dari kalangan perempuan pada waktu itu. Soenting Melayoe memuat berbagai pelajaran untuk kaum perempuan, ilmu agama, sastra, berita-berita politik dan kriminal dan banyak lainnya.