Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca, Sulitkah?

2 Oktober 2017   22:42 Diperbarui: 2 Oktober 2017   22:54 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah membaca adalah sebuah proses yang sulit sehingga banyak dari kita yang tidak suka melakukannya? Sebenarnya membaca adalah proses yang menyenangkan karena dengan membaca akan membuat otak semakin cerdas. Neuron-neuron (sel otak) di kepala kita akan semakin terkoneksi sehingga mampu mempelajari hal-hal baru. Terkoneksinya sel-sel otak itu itu akan membuat kita semakin cerdas.

Sesungguhnya otak seorang pembaca --dan juga penulis mempunyai jalur-jalur syaraf kimiawi yang berbeda dengan otak orang yang tidak suka membaca. Dengan kata lain, otak orang yang suka membaca berlainan dengan otak orang yang tidak suka membaca. Lebih jauh lagi, para penyuka internet mempunyai otak yang berlainan dengan otak mereka yang membaca secara daring atau off-line seperti buku dan majalah.

Membaca sebenarnya bukan tindakan sulit. Yang perlu Anda lakukan adalah mengambil bahan bacaan dan membenamkan diri dalam bacaan tersebut. Bacaan yang menggairahkan akan membuat Anda semakin ketagihan dalam membaca. Proses membaca yang dilanjutkan dengan  menulis akan menghasilkan hal yang lebih dahsyat. Otak Anda yang mengalami lompatan quantum, Ini karena Anda melakukan tindakan mengikat makna --dalam bahasa Hernowo, motivator penulis Indonesia. Anda mengikat hasil bacaan Anda dalam bentuk yang tidak lagi abstrak tetapi lebih konkret dalam bentuk tulisan.

Membaca fiksi dan non-fiksi pun berbeda. Ketika Anda membaca buku-buku fiksi, seperti novel, roman, dan kumpulan cerpen, otak kita menciptakan sebuah simulasi. Kita mampu mengimajinasikan cerita yang terkandung di dalam novel dan cerpen tersebut. Otak kita mengimajinasikan latar, bau, suasana, dan  jalan cerita. Ini berbeda dengan kita menonton film di mana segala sesuatu seperti adegan dan nuansanya dari cerita sudah diterjemahkan oleh sang sutradara dan aktor ke bentuk gambar.

Sedangkan ketika kita membaca buku-buku atau artikel non-fiksi maka pemahaman dan daya analisis kita pun akan bertambah. Wawasan kita akan semakin luas sehingga tidak picik dalam memandang suatu masalah.

***

Namun kenapa orang Indonesia tidak suka membaca? Kenapa UNESCO mengatakan hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang mempunyai minat baca serius? Membaca sudah diajarkan sejak sekolah dasar. Sejak kecil, seorang anak Indonesia sudah diperkenalkan dengan banyak bahan bacaan. Namun sebenarnya penyebaran buku di Indonesia masih sangat terbatas. Utamanya di Pulau Jawa saja.  Jawa adalah pusat pendidikan Indonesia. Tidak salah memang kalau dikatakan kualitas pendidikan di Pulau Jawa lebih baik daripada di luar jawa. Begitu juga dengan akses kepada buku-buku bacaan. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa amat terbatas aksesnya kepada buku-buku dan bahan bacaan berkualitas.

Kedua, serbuan sarana komunikasi audio-visual hampir-hampir saja menggerus minat baca bangsa Indonesia. Bukan hal yang aneh jika di rumah-rumah penduduk miskin Indonesia, televisi lebih mudah dijumpai daripada buku. Buku merupakan anak terlantar dalam budaya komunikasi massa Indonesia. Banyak orang miskin Indonesia mempunyai hp yang canggih namun tidak mau atau malas membeli buku. Televisi mempunyai daya jangkau lebih luas daripada buku, koran, dan majalah. Hampir setiap stasiun televisi, baik milik pemerintah maupun swasta punya stasiun relay di hampir setiap pulau di Indonesia. Banyak penduduk di daerah-daerah luar Jawa yang mempunyai antena parabola untuk menangkap siaran nasional dan luar negeri.

Ketiga, sistem pendidikan di Indonesia belum mengarahkan siswanya untuk berpikir dalam konteks yang lebih luas. Berpikir membutuhkan bahan baku berupa bahan bacaan yang beragam dan luas. Menulis belum diajarkan secara utuh dalam pendidikan kita. Sistem pendidikan hanya mengajarkan generasi muda untuk menghapal dan menghitung berdasarkan rumus-rumus yang juga harus dihapalkan.

Keempat, industri buku belum terbangun kokoh. Bicara industri buku agak sulit, IKAPI memang punya daftar penerbit di setiap propinsi. Namun industri buku yang lebih berkembang kebanyakan terkonsentrasi di beberapa kota saja seperti Yogyakarta dengan banyak penerbit Indienya, Jakarta dengan perusahaan-perusahaan penerbitan besar, dan Bandung. Industri buku di Indonesia belum merata. Memang ada beberapa di luar Jawa namun jumlahnya sedikit. Distribusi buku yang tidak merata menyebaban harga buku menjadi mahal.

***

Membaca pada tahap yang lebih tinggi mungkin terasa lebih sulit dibandingkan dengan tahap-tahap sebelumnya. Membaca di perguruan tinggi akan lebih sulit dibandingkan dengan membaca di level sekolah dasar dan sekolah menengah. Apalagi di perguruan tinggi sudah dilakukan spesialisasi keilmuan.

Masalahnya, kritik yang sering diucapkan banyak pakar, mahasiswa Indonesia tidak suka membaca buku. Mahasiswa Indonesia lebih suka membaca diktat daripada buku-buku yang lebih beragam dan lebih luas. Mereka kebanyakan hanya membaca buku-buku sesuai bidangnya saja. Seorang mahasiswa Fakultas Teknik hanya membaca buku-buku teknik dan tidak pernah membaca karya-karya sastra mutakhir. Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis   hanya membaca buku-buku teori ekonomi dan hampir tidak pernah membaca masalah budaya. Padahal budaya dan ekonomi sangat berkaitan. Perpustakaan menjadi tempat angker dan seram yang hanya dikunjungi segelintir kutu buku.

Ini dikarenakan membaca pada tahap yang lebih tinggi membutuhkan daya analisis, daya nalar,  kemampuan abstraksi, dan kemampuan mengingat. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh semua orang, tergantung tingkat pendidikannya. Pada tahap yang lebih tinggi, membaca bukan sekedar memahami teks tertulis, tapi juga menganalisis, mengkritisi, mendebat, sampai mengkoreksi, menambahkan dan menyintesiskan pemikiran para penulis dengan pemikirannya sendiri. Membaca ini disebut membaca sintopikal.

Para ilmuwan sering mengkritik pemikiran para ilmuwan lain melalu tradisi berbalas buku. Ketika seorang ilmuwan menulis buku, ilmuwan lain mengkritisi dan menulis buku untuk menjawabnya. Tradisi ini sudah lama sejak zaman keemasan Islam. Ibnu Rusyd mengkritik buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filsuf) karangan Imam Ghazali seratus tahun setelah kematian Imam Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dari kerancuan).

Budaya baca di Indonesia memang belum kuat, apalagi budaya menulis. Pemerintah lebih suka membangun infrastruktur. Baru-baru ini pemerintah membangun sebuah gedung perpustakaan baru di Jakarta yang megah dan tinggi. Tapi apakah itu dibarengi dengan membangun budaya dan kebiasaan membaca yang lebih substantif, seperti memperbaiki pelajaran membaca di sekolah dasar sampai  perguruan tinggi, menerbitkan buku-buku bermutu, menyelenggarakan pengajaran mengarang di lembaga-lembaga pendidikan, menghapus pajak penerbit dan penulis, memperbaiki distribusi buku hingga ke pelosok, mendidik generasi muda untuk lebih cinta buku, dan lain sebagainya. 

Pemerintah negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia harus kita akui mereka sangat peduli dengan budaya membaca generasi mudanya. Mereka menyediakan perpustakaan yang lengkap, bahkan di bis-bis umum dan mal pun disediakan perpustakaan. Pemerintah Amerika pun sangat peduli dengan masalah ini. Pemerintah AS pada masa Bill Clinton mencanangkan "Tahun Literasi" dan membangun lembaga riset untuk menanamkan budaya baca pada generasi muda.

Membaca membentuk intelektualitas dan nilai-nilai moral kita. Dengan membaca pikiran kita berkelana ke mana-mana. Ke daerah-daerah asing yang jarang didatangi orang. Membaca buku membangun pikiran kita. Dengan membaca, pikiran kita "merantau" ke tanah-tanah asing yang  tidak pernah kita injak. Kita bertemu dengan Dostosyevki, Tolstoys, Albert Camus, Nurcholish Madjid, Noam Chomsky, Marx, Adam Smith, Karl Polanyi, Malik bin Nabi, Muhammad Quthb, dan sebagainya.

Almarhum sastrawan Ali Akbar Navis tidak pernah meninggalkan kampung halamannya, Minangkabau, tapi pemikirannya 'berpetualang ke mana-mana' lewat berbagai macam bacaan yang menghantarkannya ke gerbang pemikiran dan hikmah.

Buku adalah cyberspace pertama yang menghubungkan pikiran banyak orang. Hampir sama dengan internet, buku menyebabkan orang-orang memikirkan hal yang sama dan kemudian menjadi wacana. Manusia dari berbagai zaman dan generasi saling terhubung satu sama lain walau mereka tidak pernah bertemu.

Membaca adalah sebuah oase di tengah kegalauan, kegelisahan, dan kebingungan. Buku memberi arti bagi mereka yang menghargai dan mencintainya. Cinta membaca akan membuat kita melayang di angkasa pemikiran yang tak bertepi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun