Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rohis Seharusnya Dibimbing, Bukan Diawasi

17 Juli 2017   21:05 Diperbarui: 17 Juli 2017   21:08 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rohis atau rohani Islam merupakan salah-satu ekstrakurikuler di bawah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Rohis selalu mendapat pengawasan dan bimbingan dari guru-guru agama. Hampir di setiap sekolah negeri (SMP dan SMA) selalu mempunyai Rohis dengan berbagai namanya masing. Rohis bertugas untuk menyebarkan dakwah kepada siswa-siswi SMAN tersebut.

Rohis ini mampu menembus generasi muda pelajar yang tak terjamah oleh guru-guru agama. Rohis ini mampu mencapai generasi muda sekolah yang pendidikan agamanya kurang. Aktivis-aktivis Rohis berdakwah dengan ikhlas tanpa dibiayai oleh siapapun. Memang ada bantuan dari sekolah tapi banyak. Untuk mengadakan kegiatan, mereka mengandalkan sumbangan sukarela dari siswa dan mencari sponsor. Kadang mereka mengadakan bazaar buku untuk mencari dana tambahan.

Rohis merupakan jawaban atas dekadensi moral yang terjadi di antara para remaja. Seks bebas, narkoba, dan tawuran antar pelajar adalah hal-hal yang tidak sanggup ditanggulangi oleh pihak sekolah dan instansi pendidikan terkait. Dengan gayanya yang cukup "gaul" Rohis makin diminati oleh kaum remaja. Mereka berdakwah layaknya para dai. Mereka tidak mengharapkan imbalan. Semua ikhlas Lillahi ta'ala. Sampai mereka lulus sekolah, para alumni Rohis tetap berkunjung ke sekolah untuk memberi pengajian dan pelatihan.

Sebagai seorang mantan aktivis Rohis, saya merasa bersyukur bisa aktif di sana. Setidaknya saya merasa terlindungi dari atmosfir yang tidak baik. Selain itu, saya dapat menambah pengetahuan dan kecakapan (skill) saya di bidang organisasi. Pengalaman selama berorganisasi itu menjadi suatu hal yang tidak terlupakan selama hidup saya. Materi yang diberikan selama pengajian atau liqo' atau mentoring sebenarnya bukan materi-materi berat. Namun selalu berkaitan dengan akhlak atau Tauhid. Namun kadang-kadang pihak sekolah menghadirkan pembicara dari luar sebagai penceramah pada Peringatan Hari-hari Besar Islam.

Banyak aktivis Rohis yang berhasil dalam studinya di SMU dan perguruan tinggi walaupun dengan aktivitas seabrek. Mereka menjadi panutan dan teladan bagi para siswa dan siswi lainnya.

Menurut saya, upaya pemerintah untuk mengawasi Rohis-rohis tersebut kurang tepat. Mereka bukan teroris dan tidak dididik untuk jadi teroris. Kalaupun ada aktivis Rohis yang salah langkah itu disebabkan karena kurangnya pembinaan dari pemerintah atau departemen terkait.

Masa remaja adalah masa yang paling indah. Masa-masa bercanda dan bersukaria sekaligus masa berpayah-payah belajar untuk masuk perguruan tinggi negeri. Seperti yang saya tuliskan di paragraf awal, Rohis merupakan jawaban atas dekadensi moral yang dialami remaja. Sesuatu yang justru kadang luput dari pengamatan pihak sekolah dan instansi pendidikan terkait.

Kami dulu tidak mengenal apa itu NU dan Muhammadiyah atau HTI atau PKS atau Jamaah Islamiyah. Saya baru apa itu NU dan Muhammadiyah dan polarisasi kelompok Islam politik di Indonesia setelah kuliah di FISIP-UI. Kami dulu awam sekali dengan politik Islam yang biasanya dibicarakan para aktivis mahasiswa dengan gagahnya.  Niat saya dan teman-teman itu adalah ingin berdakwah dan menimba ilmu agama. Kami hanya berpikir bahwa agama adalah sesuatu yang baik bagi perkembangan kehidupan kami.

Kalau Rohis dicurigai sebagai sarang teroris. Mereka masih remaja. Kalaupun Rohis dicurigai berafiliasi kepada parpol tertentu adalah tugas Kementerian Agama untuk membimbing Rohis. Memang kami akui beberapa bacaan kami yang bernuansa radikal. Tapi tidak semua aktivis Rohis radikal, tho! Tugas Negara melalui Kemenag adalah membimbing bukan mengawasi layaknya organisasi radikal tertentu.

Harus diingat bahwa kehidupan di sekolah-sekolah umum negeri ataupun swasta sangat berbeda dengan pendidikan di pesantren. Di pesantren pendidikan dilakukan oleh para kyai dan ustadz dalam waktu 24 jam sehari. Di sekolah umum lain sekali. Banyak guru yang merasa tugasnya hanya mengajar bukan mendidik. Mereka merasa bahwa kenakalan remaja bukan tanggungjawab mereka tapi tanggungjawab orang tua. Sementara orang-tua melemparkannya ke sekolah karena mereka seharian bekerja. Sekolah di negeri ini bukan tempat pendidikan, tapi tempat pengajaran.

Kemenag dan instansi terkait lainnya jangan bertindak seperti halnya polisi pada masa Orde Baru. Masa-masa itu sudah lewat. Di era demokrasi, dialog dan musyawarah hendaknya lebih diutamakan daripada mengawasi seperti halnya badan intelijen. Kemenag perlu mencari solusi yang lebih arif, bukan dengan cara seperti ini.

Ingat Anda mempertaruhkan nasib dan moral jutaan generasi muda Indonesia lainnya. Saya tahu Menag kita adalah alumni pesantren Gontor yang berbeda dengan sekolah-sekolah umum negeri dan swasta di negeri ini. Indonesia memang mengalami dualisme pendidikan. Oleh karena itu saya berharap Menang Lukman Hakim Saifuddin dapat bertindak bijaksana dan mau mendengarkan aspirasi dari banyak pihak. Amien.

Hanvitra, Mantan Koordinator Kaderisasi Dewan Kerja Mushola (DKM) Ar-Rahmah SMUN 1 Bogor (1996)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun