Untuk meningkatkan tingkat literasi masyarakat, Negara harus berinvestasi di bidang pendidikan. Demokrasi baru mampu berkembang dan kokoh jika masyarakatnya terdidik dan literat. Untuk saat ini jumlah sarjana maupun master dan di atasnya hanya 8 persen dari jumlah penduduk. Jadi masih sangat kecil sekali.
Akibat dari lemahnya tingkat pendidikan dan literasi penduduk di hampir seluruh daerah di Indonesia, proses pilkada sering diwarnai kekerasan dan konflik. Masyarakat yang berpendidikan rendah dan tidak kritis itu mudah sekali disulut emosinya hanya dengan isu-isu agama, etnis, dan antargolongan. Anarkisme gampang sekali terjadi. Pihak keamanan memang sudah berhasil mengatasi namun hal ini belum cukup. Pemerintah wajib memberi pencerahan kepada masyarakat.
Elit-elit politik memobilisasi massa yang tak tahu banyak dengan memanipulasi simbol-simbol agama, etnis, dan budaya. Pemerintah seharusnya memberi peringatan atau menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang mengail di air keruh. Ini akibat dari tingkat pendidikan dan literasi yang rendah.
Tidak semua elemen masyarakat Indonesia mempunyai akses ke sarana ilmu pengetahuan yang memberdayakaan mereka. Ilmu pengetahuan masih dianggap sebagai sesuatu yang ekslusif. Â Apalagi dengan mahalnya pendidikan di negeri ini.
Sebenarnya kekurangan dalam pendidikan dapat diatasi dengan membaca buku sebanyak-banyaknya. Namun masyarakat Indonesia tidak suka membaca apalagi menulis. Bagi kalangan terpelajar sekalipun, budaya membaca dan menulis sangat kurang akibat sistem politik yang otoriter.
Kini di era reformasi pintu masuknya informasi terbuka lebar. Banyak cara untuk dapat memperoleh informasi seperti dari telepon pintar dan internet. Buku di negeri ini memang milik kalangan tertentu yang terpelajar. Pemerintah seyogianya membuka kelas paket A, B, dan C bagi mereka yang tidak sempat menempuh pendidikan formal. Harus diingat, literasi adalah salah-satu cara untuk melepaskan diri dari lingkaran setan kemiskinan.
Sayangnya, pemerintah baik pusat maupun daerah kurang memperhatikan fenomena ini. Masyarakat yang berpendidikan rendah sekalipun dapa di-upgrade pendidikan dengan sistem kejar paket tersebut. Literasi dianggap tidak memiliki hubungan dengan demokrasi dalam anggapan mereka.
Kita harus ingat, salah-satu cara rezim-rezim otoriter di dunia ini untuk berkuasa adalah dengan membatasi akses informasi warganya. Kini kita tidak lagi hidup di era otoritarianisme. Demokrasi memungkinkan terjadi proses penyebaran dan tukar-menukar informasi melampaui ruang dan waktu.
Media seyogianya menjadi sarana untuk mencerahkan sesuatu, bukan memberi porsi iklan yang besar bagi kandidat-kandidat tertentu. Media-media di berbagai daerah di Indonesia baru sampai pada tahap memberikan informasi, belum mendidik masyarakat.
Kita berharap bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan beradab. Sebenarnya bangsa Indonesia pernah diprediksi menjadi salah-satu calon negara adi daya di dunia, hanya saja salah-satu penghambatnya adalah kualitas SDM yang masih rendah. Kita memiliki sumber daya alam (SDA) yang membuat iri bangsa-bangsa lain. Yang memprihatinkan bangsa kita kurang cerdas. Jangan sampai kita di-bully oleh media-media internasional! Bangsa Indonesia harus bangkit dari mental  terjajahnya dan menjadi bangsa yang maju di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H