Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Syamsuddin Muhammad Hafizh (1320-1389), Penyair Sufistik dari Persia

30 Juli 2016   09:26 Diperbarui: 30 Juli 2016   09:46 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Mataku menerawang

Mencari pada setiap dunia

Kelembutan dan Cinta,

Sekarang terkunci pada Sasaran Mulia-

Dia yang Suci lagi Mempesona

Yang Keindahannya Menerangi Wujud.

Jiwaku menahan sebuah kerinduan besar.”

Dunia tasawuf selalu melahirkan puisi-puisi ketuhanan yang menyentuh. Tasawuf identik dengan nuansa kelembutan dan cinta kasih. Para sufi menempuh jalan cinta kepada Tuhan yang diibaratkan seorang Kekasih, Cinta yang sejati. Banyak penyair lahir dari rahim tasawuf seperti Sa’di as-Syirazi, Jalaluddin Rumi, dan Fariduddin Attar.

Salah-satu penyair sufi yang banyak dikenang orang adalah Syamsuddin Muhammad Hafizh atau biasa dipanggil Hafizh. Ia lahir di Syiraz, sebuah kota taman di Persia selatan kira-kira pada 1320 Masehi yang selamat dari serbuan tentara Mongol. Ia adalah penyair yang produktif hingga akhir hayatnya walaupun kehidupannya penuh cobaan.

Terlahir dari keluarga miskin, Hafizh harus bekerja sebagai pembuat roti di siang hari dan belajar di sekolah pada malam hari. Ia menonjol dalam berbagai pelajaran, seperti hukum-hukum al-Qur’an dan teologi, tata bahasa, sejarah, matematika dan astronomi.

 Hafizh muda menggubah banyak syair, namun baru sejak usia 20-an, kecerdasan dan bakatnya sebagai penyair terlihat. Ia diangkat sebagai penyair kerajaan dan menjadi pengajar di sebuah perguruan tinggi.  Namun puisi-puisi dianggap berani mendukung gagasan-gagasan yang menentang kelompok ortodoks . Ia dipecat dari jabatannya dan berpindah-pindah pekerjaan sebagai perancang sketsa yang terampil dan penulis naskah profesional. Ia juga menguasai kaligrafi yang dianggap sebagai seni yang sangat tinggi pada masa itu.

Lepas dari kerajaan, Hafizh pernah dibuang ke luar kota selama bertahun-tahun di mana ia merasakan kemiskinan yang menghimpit dada. Hafizh lalu bertemu dengan seorang guru spiritual, Muhammad Aththar. Hubungan guru-murid ini sangat spesial. Mereka minum anggur dari cawan yang sama. Aththar membina Hafizh di jalan spiritual. Ketika Athhar meninggal, Hafizh merasa kehilangan sekali.

Di usi 60 tahun, Hafizh semakin terkenal sebagai pujangga. Ia menulis sebuah buku yang berisi puisi-puisinya “Diwan-i-Syarif”. Karyanya kurang dikenal di Barat. Puisi-puisi Hafizh menghentak batin kaum  yang beriman. Beberapa penyair Barat  menerjemahkan puisi-puisi Hafizh ke dalam bahasa-bahasa Eropa.

Syamsuddin Muhammad Hafizh meninggal pada usia 70 tahun. Ia dimakamkan di salah-satu tempat favoritnya, di kaki sebuah pohon Cypress yang ditanamnya sendiri di sebuah kebun mawar dekat Syiraz. Selama 500 tahun makamnya, yang dikelilingi kebun mawar menjadi pusat ziarah dan penyegaran bagi ribuan orang.

Keintiman dengan Tuhan

Tasawuf adalah salah-satu bentuk kelembutan dalam Islam. Tasawuf merupakan “salah-satu cara untuk berakhlak dengan akhlak Allah.”

Agama merupakan perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia di alam azali, alam sebelum kehidupan di dunia ini. Menurut al-Qur’an di alam ruh, manusia berjanji akan taat kepada Allah sebelum dilahirkan ke dunia fana ini.

Bagi para sufi, jalan menuju Tuhan adalah jalan cinta dan keindahan. Mereka dengan segenap jiwa dan raganya berusaha mendekati Tuhan. Hubungan para sufi kepada Allah bagaikan hubungan intim dengan Kekasih yang tak pernah terpisah..

Para sufi menganggap Tuhan sebagai Kekasih sejati. Tuhan itu penuh cinta. Hanya saja di dunia ini banyak sekali orang hatinya tertutup dari cahaya cinta Tuhan.

Para sufi –termasuk Hafizh telah menempuh jalan menuju Tuhan. Ketika melakukan ritus-ritus tertentu, mereka merasa Tuhan hadir dalam diri mereka. Puisi-puisi Hafizh merefleksikan rasa cinta dan kerinduannya kepada Tuhan. Ia tidak jauh ia dekat. Puisi Hafizh dapat dibaca sebagai sebuah sebuah rekaman tentang perjalanan manusia menuju keriangan sempurna, pengetahuan sempurna, dan cinta sempurna. Hafizh menulis ghazal, bentuk kidung cinta yang populer pada masa itu.  Hafizh menulis ratusan ghazal yang menemukan cara untuk membawa kedalaman  dan makna baru menuju lirik-lirik tanpa kehilangan makna sebuah lagu cinta umumnya.

Puisi-puisinya mengekspresikan  setiap nuansa dan tahapan pemahaman cinta yang sedang tumbuh. Dia menulis tentang manisnya luka kerinduan, keresahan untuk menunggu, keriangan ekstatis penyatuan. Dia mengeksplorasi beragam bentuk dan tingkatan cinta: kesenangan pada keindahan alam, percumbuan yang romantis  pada cita-cita itu, gadis yang tak terengkuh, asmaranya yang manis kepada istrinya, kelembutan pada anaknya –dan kedukaan dan kesendiriannya yang luar biasa, pada periode kehidupannnya belakangan, baik istri dan anaknya meninggal. Dia menulis tentang hubungannya dengan sang guru dan kekagumannya kepada Tuhan.

Guru Sufi India Inayat Khan menjelaskan, “Misi Hafizh adalah untuk mengekspresikan bagi sebuah dunia keberagamaan yang fanatik, bahwa kehadiran Tuhan tidak saja dapat ditemukan di surga, tetapi di atas bumi ini.”

Dalam bahasa Persia, Hafizh kadang-kadang menyebut “Lidah dari Yang Tak Kasat,” karena banyak sekali puisinya tampak menjadi kidung-kidung cinta yang indah dan memabukkan dari Tuhan kepada dunia kekasih-Nya. Hafizh berbagai kemabukannya dengan magis dan keindahan dari kehidupan ilahiah yang berdenyut di mana-mana, di sekeliling kita dan di dalam diri kita. Dia mencemooh kemunafikan dan kesetengah-tengahan, juga mendesak kita untuk naik di atas sayap-sayap cinta. Dia mendorong kita untuk merayakan bahkan pengalaman-pengalaman hidup paling biasa sebagai berkah ilahi paling mulia. Dia mengundang kita untuk “terjaga sesaat” dan mendengarkan musik penuh kebahagiaan dari tawa Tuhan.

Apa itu cinta dan tawa mulia

Yang menguncup dalam kalbu kita?

Ia adalah suara kemenangan

Dari jiwa yang sedang terjaga!

Rumahku Surgaku, Depok, 30 Juli 2016

Rujukan

Daniel Ladinsky, Hafizh: “Aku mendengar Tuhan tertawa”, Surabaya: Risalah Gusti, 2004.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun