Umat Islam adalah umat pertengahan. Dengan kata lain, umat yang moderat. Secara geografis, wilayah-wilayah Islam adalah jembatan timur dan Barat. Wilayah-wilayah Islam menghubungkan peradaban di sebelah timur dan di sebelah Barat. Begitu juga dengan Utara dengan selatan. Ini mengandung konsekuensi ummat Islam harus menjadi penengah dan saksi bagi sekalian umat manusia. Menurut pakar tafsir Al-Qur’an Indonesia, Prof. Dr. Quraish Shihab, menjadi saksi bagi manusia berarti menjadi teladan bagi seluruh umat manusia.
Islam tidak dapat dilepaskan dari kemanusiaan. Salah-satu bentuk dari nilai kemanusiaan itu adalah dialog antar peradaban. Proses dialog itu membutuhkan proses saling mengenal atau ta’aruf. Dan Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mengadakan dialog untuk mencari kesepahaman dan kesepakatan bersama. “Dan demikianlah, Kami telah menjadikan kamu, bangsa tengah (middle nation) agar kalian menjadi saksi atas seluruh manusia dan komunitas dunia (Al-Baqarah 2: 143).
Ayat ini dengan gamblang menegaskan Islam bukan agama yang datang untuk menghapuskan agama-agama lain, kecuali kemusyrikan dan kejahatan. Istilah Al-Qur’an adalah ummah wasathan, umat pertengahan. Islam datang sebagai “kasih-sayang bagi seluruh alam.” Islam datang sebagai cahaya bagi seluruh umat manusia. Doktrin Tauhid dan Al-Qur’an mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada keadaan terang benderang. Dari kegelapan jiwa ke kebahagiaan sejati. Konsekuensi dari moderasi tersebut adalah umat Islam harus bisa mengambil jalan tengah dari semua peradaban yang ada. Ummat Islam harus mengambil nilai-nilai positif dari berbagai peradaban dan membuang hal-hal negatif. Islam bukan “Barat” atau “Timur”. Barat dan Timur adalah milik Allah. Bahkan di dalam salah-satu ayat disebutkan Allah adalah pemilik banyak Barat dan banyak Timur.
Ekspansi Islam ke seluruh wilayah dunia disebut futuhat atau pembebasan, bukan penaklukan. Sudah jamak diketahui dalam sejarah peradaban Islam, komunitas muslim selama berabad-abad menjalim hubungan dengan bangsa-bangsa, peradaban-peradaban, dan agama lain. Para penguasa Muslim menjalankan politik kemajemukan yang mengesankan. Salah-satu contoh adalah Andalusia atau Spanyol Islam. Masa keemasan Andalusia disebut dengan “Spain in Three Religion” atau Spanyol dalam tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi. Pada masa keemasaan Andalusia, pemeluk ketiga agama tersebut hidup dengan harmonis. Mereka saling membantu dalam mewujudkan peradaban Islam yang gemilang. Para khalifah Umawi di Andalusia tidak pernah memaksa para pemeluk Yahudi dan Kristen untuk pindah ke Islam. Para cendekiawan Yahudi bahkan berperan penting dalam menerjemahkan karya-karya Yunani Klasik ke dalam bahasa Arab. Tak heran Max I. Dimmont seorang sejarawan Yahudi mengatakan bahwa masa keemasan Yahudi bersamaan dengan masa keemasan Islam. Justru di bawah pemerintahan Islam, mereka begitu dilindungi dan diberi kebebasan untuk memeluk agamanya. Mereka juga dibebaskan untuk terlibat dalam aktivitas intelektual.
Begitu juga dengan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, mereka menggunakan jasa penerjemah Kristen Suryani yang dipelopori Hunain ibn Ishaq untuk menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani ke dalam bahasa Arab. Dengan adanya transfer ilmu tersebut, peradaban Islam menjadi sangat kaya dengan menyerap berbagai ilmu pengetahuan dari mana pun, termasuk dari peradaban Hindu dan Budha. Al-Biruni, seorang astronom Muslim pada abad pertengahan, misalnya, mempelajari kosmologi Hindu untuk mengembangkan ilmu astronomi. Angka nol yang ditemukan ilmuwan Islam berasal dari matematika Hindu. Para cendekiawan Islam mempelopori ilmu perbandingan agama, antropologi, filsafat, linguistik, dan sejarah. Umat Islamlah yang membebaskan ilmu pengetahuan dari parokialisme dan kecenderunga nasionalistik sehingga tidak ada lagi matematika Hindu, China, Yunani, dan sebagai. Seluruh ilmu pengetahuan berlaku universal untuk seluruh umat manusia.
Menurut Husain Heriyanto, ummat Islam melakukan appopriasi, yakni mengambil ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai peradaban yang dibebaskannya dan membuang hal-hal negatif yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Ilmu dalam pandangan Islam haruslah bermanfaat bagi orang lain.
Menurut Ziauddin Sardar, ilmu merupakan penggerak utama peradaban Islam. Ilmu bukan monopoli siapa pun. Seluruh anggota masyarakat, lanjut Sardar, harus mempunyai akses ke dalam pendidikan. Ilmu merupakan kata yang paling banyak disebut dalam al-Qur’an setelah kata “Allah” dan “Rabb”.
Penyebaran Islam yang begitu luas ke pelbagai wilayah di dunia dari Afrika hingga Asia Tengah dan Asia Timur menyebabkan pertemuan Islam dengan pelbagai agama dan budaya di seluruh dunia. Islam menghubungkan berbagai tradisi yang ada di dunia. Ada unsur Islam di dalam budaya China dan India serta juga ada tradisi Islam dalam berbagai kebudayaan dunia. Umat Islam terdapat di berbagai wilayah dan mereka mengembangkan tradisi ilmiah dan kebudayaannya sendiri.Ummat Islam tergabung dalam masyarakat yang plural. Menurut Nurcholish Madjid, pluralisme positif ini sudah termaktub dalam al-Qur’an.
Proses Ta’aruf di Era Kekinian
Kitab suci ummat Islam ini mengakui adanya kemajemukan. Al-Qur’an bahkan mengatakan kemajemukan bahasa, warna kulit, suku, dan bangsa merupakan tanda-tanda (ayat) kekuasaan Tuhan. Ayat dapat berarti sumber pelajaran. Manusia disuruh merenungi apa makna Tuhan menciptakan perbedaan. Ayat-ayat ini sungguh mendalam karena menyangkut ilmu antropologi, sosiologi, linguistik, dan sejarah. Sungguh banyak rahasia di dalam Al-Qur’an, tak semua makna tersebut dapat terkuak. Ayat-ayat antropologis banyak bertebaran di dalam Al-Qur’an. Sayangnya, tak banyak sarjana muslim yang mencoba menguak makna ayat-ayat pluralisme itu.
Kalau kita lihat bagaimana persebaran manusia di muka bumi, kita akan mendapati bahwa seluruh suku bangsa berhubungan satu sama lain, baik secara kebudayaan, sejarah, ekonomi, dan darah. Tidak ada satu suku bangsa pun yang tidak terhubung satu sama lain. Ini membuktikan bahwa pada hakikatnya seluruh umat manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama. Persebaran umat manusia di muka bumi merupakan bentuk respon dari berbagai kondisi, terutama segi geografis, politik, dan ekonomi. Umat manusia menyebar ke berbagai penjuru dunia. Migrasi umat manusia ke seluruh dunia adalah salah-satu cara untuk mencari penghidupan yang lebih baik sekalipun merupakan upaya untuk mengatasi faktor populasi. Keberagaman merukan sebuah bentuk sunnatullah, ketetapan Tuhan bagi umat manusia. Hal ini agar manusia saling mengenal satu yang lain.
Kata umat berasal dari kata “umm” yang berari ibu atau induk. Ini berari seluruh manusia berasal dari ibu yang sama. Proses interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam bingkai kebudayaan ini yang disebut al-Qur’an dengan ta’aruf.
Sedangkan kata “ta’aruf” berasal dari kata ‘arafa” yang berarti mengenal. Proses ta’aruf adalah proses saling mengenal satusama lain. Ada timbal balik di situ. “Ta’aruf” bernuansa sosiologis. Dalam proses ini seseorang dituntut mau membuka dirinya kepada orang lain, begitu juga dengan kawannya itu. Islam sangat menganjurkan proses ta’aruf ini. Di era kini, proses ta’aruf sudah banyak dilakukan walaupun hanya oleh sekelompok orang tertentu. Di era globalisasi informasi ini, proses saling mengenal lebih muda dilakukan, seperti melalui internet. Di internet, kita dapat memperoleh akses ke informasi mengenai kebudayaan lai. Apalagi internet menghubungkan manusia yang satu ke manusia lain walaupun di lain benua. Selain itu, proses ta’aruf dapat dilakukan melalui kunjungan kebudaya, pembukaan pusat kebudayaan di negeri-negeri lain, jalur diplomasi, seminar, buku, sampai melalui media cetak dan elektronik. Media adalah sarana yang paling efektif dalam menginformasikan kebudayaan-kebudayaan lain. Melalui televisi, misalnya, kita dapat mengetahui aktivitas budaya suatu bangsa. Selain itu, media cetak dapat memberi kita informasi yang lebih menyeluruh mengenai kebudayaan lain. Jadi ada banyak media.
Kita tidak perlu takut untuk mengenal kebudayaan lain. Kita harus membuka diri di era globalisasi ini. Jangan sampai umat Islam hidup terisolasi dari pergaulan internasional. Islam adalah agama dan peradaban universal yang hidup bersama bangsa-bangsa lain. Dialog antar peradaban terasa penting untuk lebih mengetahui diri masing-masing. Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi lebih memudahkan proses ta’aruf ini.
Memang di masa lalu terjadi proses penjajahan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Hal ini menimbulkan trauma dan memori yang tak mudah dihapuskan. Akan tetapi kondisi dunia kini berbeda. Proses globalisasi terjadi di mana-mana tanpa mengenal bangsa. Seharusnya kita lebih terbuka dan mau menerima keberadaaan orang lain. Kita harus belajar hidup bersama. Tantangan kemanusiaan semakin berat, seperti pemanasan global, terorisme, peperangan, bencana alam dan kemanusiaan, kemiskinan, dan keterbelakangan sebagian bangsa. Sementara itu ada bangsa-bangsa yang hidup terlalu makmur. Mereka seakan tidak merasakan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami bangsa-bangsa di dunia ketiga. Namun solidaritas dunia kini semakin terbentuk. Bantuan internasional untuk pembangunan di negara-negara dunia ketiga mengalir dari Barat dan Timur. Negara-negara adidaya dan maju baru bermunculan, seperti China, India, Indonesia, Brasil, Rusia, Korea Selatan, dan Taiwan.
Keberadaan para pebisnis yang peduli dengan nasib saudara-saudaranya yang tertinggal tidak dapat dilupakan. Mereka menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaan untuk bantuan beasiswa, kesehatan, transportasi, dan kecakapan hidup (life skills).
Ketika bencana alam menimpa satu negeri dan menimbulkan korban jiwa, sontak umat manusia dari seluruh dunia saling menolong dan memberikan bantuan. Terlihat di sini ada rasa persaudaraan universal. Umat manusia pada hakikatnya bersaudara. Hal ini begitu terlihat ketika bencana tsunami di Aceh tahun 2004, ketika hampir seluruh bangsa di dunia ini memberikan bantuan. Saat itu Aceh ramai dikunjungi relawan tanpa mengenal agama dan bangsa untuk saling membantu. Sungguh mengharukan!
Sebagai umat pertengahan, umat Islam dituntut untuk membuka dialog dengan sesama dalam suasana damai. Kesediaan untuk saling memahami adalah kuncinya. Walaupun perbedaan kadang tak mudah didamaikan, dibutuhkan kebijaksanaan untuk mencari penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Wallahu a’lam bisshowab.
Depok, 6 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H