Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Umat Pertengahan dan Proses Ta'aruf

7 Juni 2016   01:49 Diperbarui: 7 Juni 2016   02:05 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kata umat berasal dari kata “umm” yang berari ibu atau induk. Ini berari seluruh manusia berasal dari ibu yang sama. Proses interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam bingkai kebudayaan ini yang disebut al-Qur’an dengan ta’aruf.

Sedangkan kata “ta’aruf” berasal dari kata ‘arafa” yang berarti mengenal. Proses ta’aruf adalah proses saling mengenal satusama lain. Ada timbal balik di situ. “Ta’aruf” bernuansa sosiologis. Dalam proses ini seseorang dituntut mau membuka dirinya kepada orang lain, begitu juga dengan kawannya itu. Islam sangat menganjurkan proses ta’aruf ini. Di era kini, proses ta’aruf sudah banyak dilakukan walaupun hanya oleh sekelompok orang tertentu. Di era globalisasi informasi ini, proses saling mengenal lebih muda dilakukan, seperti melalui internet. Di internet, kita dapat memperoleh akses ke informasi mengenai kebudayaan lai. Apalagi internet menghubungkan manusia yang satu ke manusia lain walaupun di lain benua. Selain itu, proses ta’aruf dapat dilakukan melalui kunjungan kebudaya, pembukaan pusat kebudayaan di negeri-negeri lain, jalur diplomasi, seminar, buku,  sampai melalui media cetak dan elektronik. Media adalah sarana yang paling efektif dalam menginformasikan kebudayaan-kebudayaan lain. Melalui televisi, misalnya, kita dapat mengetahui aktivitas budaya suatu bangsa. Selain itu, media cetak dapat memberi kita informasi yang lebih menyeluruh mengenai kebudayaan lain. Jadi ada banyak media.

Kita tidak perlu takut untuk mengenal kebudayaan lain. Kita harus membuka diri di era globalisasi ini. Jangan sampai umat Islam hidup terisolasi dari pergaulan internasional. Islam adalah agama dan peradaban universal yang hidup bersama bangsa-bangsa lain. Dialog antar peradaban terasa penting untuk lebih mengetahui diri masing-masing. Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi lebih memudahkan proses ta’aruf ini.

Memang di masa lalu terjadi proses penjajahan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Hal ini menimbulkan trauma dan memori yang tak mudah dihapuskan. Akan tetapi kondisi dunia kini berbeda. Proses globalisasi terjadi di mana-mana tanpa mengenal bangsa. Seharusnya kita lebih terbuka dan mau menerima keberadaaan orang lain. Kita harus belajar hidup bersama. Tantangan kemanusiaan semakin berat, seperti pemanasan global, terorisme, peperangan, bencana alam dan kemanusiaan, kemiskinan, dan keterbelakangan sebagian bangsa. Sementara itu ada bangsa-bangsa yang hidup terlalu makmur. Mereka seakan tidak merasakan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami bangsa-bangsa di dunia ketiga. Namun solidaritas dunia kini semakin terbentuk. Bantuan internasional untuk pembangunan di negara-negara dunia ketiga mengalir dari Barat dan Timur. Negara-negara adidaya dan maju baru bermunculan, seperti China, India, Indonesia, Brasil, Rusia, Korea Selatan, dan Taiwan.

Keberadaan para pebisnis yang peduli dengan nasib saudara-saudaranya yang tertinggal tidak dapat dilupakan. Mereka menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaan untuk bantuan beasiswa, kesehatan, transportasi, dan  kecakapan hidup (life skills).

Ketika bencana alam menimpa satu negeri dan menimbulkan korban jiwa, sontak umat manusia dari seluruh dunia saling menolong dan memberikan bantuan. Terlihat di sini ada rasa persaudaraan universal. Umat manusia pada hakikatnya bersaudara. Hal ini begitu terlihat ketika bencana tsunami di Aceh tahun 2004, ketika hampir seluruh bangsa di dunia ini memberikan bantuan. Saat itu Aceh ramai dikunjungi relawan tanpa mengenal agama dan bangsa untuk saling membantu. Sungguh mengharukan!  

Sebagai umat pertengahan, umat Islam dituntut untuk membuka dialog dengan sesama dalam suasana damai. Kesediaan untuk saling memahami adalah kuncinya. Walaupun perbedaan kadang tak mudah didamaikan, dibutuhkan kebijaksanaan untuk mencari penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Wallahu a’lam bisshowab.

Depok, 6 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun