Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bisakah Bangsa Indonesia Berpikir?

19 April 2016   11:50 Diperbarui: 19 April 2016   12:01 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul di atas mengingatkan kita akan buku yang ditulis oleh Kishore Mahbubani, seorang diplomat Singapura, yang berjudul Can Asians Think?. Buku ini menohok elit-elit politik dan ekonomi Asia. Bisakah bangsa Asia berpikir. Jawabannya: bisa, mungkin, tidak bisa. Kishore justru dengan percaya diri mengatakan sebenarnya bangsa-bangsa Asia mampu berpikir. Namun pola pikir mereka tidak sama dengan pola pikir bangsa-bangsa Arab.

Ada kesenjangan di sana. Pola pikir Barat yang materialistis, logis, individualistis, dan pragmatis berhadapan dengan pola pikir Timur yang komunialistik, spiritualistik, asketik, dan sinkretis. Sebagaimana Rudyard Kipling penulis Inggris itu pernah mengatakan, “Barat adalah Barat, “Timur adalah Timur, keduanya tidak akan pernah bertemu”. Bangsa-bangsa Asia telah lama dihina oleh Barat dengan penjajahan yang panjang.  Penjajahan adalah suatu hal yang pahit dan ini meninggalkan jejak mental yang cukup parah bagi masyarakat terjajah bahkan sampai bertahun-tahun merdeka.

Bangsa Indonesia patut berpikir apakah mereka benar-benar bisa berpikir. Henry Ford berkata, “Berpikir itu sulit. Maka sedikit sekali yang melakukannya.” Sepertinya bangsa-bangsa Asia –termasuk Indonesia  ditakdirkan untuk lebih bisa merasa ketimbang berpikir. Berpikir adalah suatu proses yang dinamis yang membutuhkan kemampuan abstraksi. Sedangkan bangsa Indonesia lebih suka melakukan pekerjaan yang bersifat riil ketimbang abstrak. Tidak heran, berpikir di Indonesia dianggap bukan pekerjaan. Bekerja bagi bangsa Indonesia haruslah nyata, yang menghasilkan uang cepat, dan menguras tenaga ketimbang otak. Kegiatan berpikir ini tidak relevan bagi kebutuhan mereka yang sebagian besar kelas menengah ke bawah. Kegiatan berpikir abstrak adalah milik para mahasiswa, sarjana atau para pejabat.

Sebagian besar elit politik Indonesia mampu berpikir dalam kaitan bagaimana meraih proyek pemerintah, menyuap atau memeras para penguasa dan pengusaha. Dalam hal ini sebagian elit politik Indonesia mampu berpikir, namun dalam batas mencari keuntungan pribadi. Yang bangsa Indonesia butuhkan adalah pemimpin visioner yang mampu berpikir jauh ke depan. Mereka yang mampu merumuskan masa depan dan menjalankan kebijakan yang visioner demi Indonesia ke depan. Kebanyakan elit-elit politik bangsa Indonesia saat ini hanya berpikir “di sini” tanpa mampu menerawang ke masa depan. Akan jadi apakah Indonesia di masa depan?

Setiap pemilu, sebaiknya setiap rakyat Indonesia berpikir untuk memilih anggota DPR dan DPRD untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Apakah  mereka benar-benar berpikir?  Jawabannya tidak semua orang Indonesia mampu berpikir. Kesenjangan pendidikan dan pendapatan di antara rakyat Indonesia menyulitkan sebagian besar rakyat Indonesia yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah tidak mampu berpikir, kecuali memikirkan bagaimana mencukupi kebutuhan hidup hari ini.

Sedangkan sebagian kecil mahasiswa Indonesia lebih suka berdemo dan merusak ketimbang berpikir. Bagi sebagian mahasiswa Indonesia, berdemo dan berpikir dengan menuliskan pemikiran kritis mereka tidak banyak berguna. Lebih berteriak-teriak dengan gaya yang lantang agar diliput media. Memang ada mahasiswa yang mampu menulis di media massa, namun jumlahnya sedikit sekali.

Sebenarnya bangsa Indonesia mampu berpikir, tapi dalam konteks apa dan untuk apa. Kebanyakan bangsa Indonesia berpikir pragmatis. Siapa dapat apa? Bukan bagaimana berkontribusi untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Kalaupun ada baiasanya adalah mereka yang punya ide-ide brilian. Akhir-akhir ini banyak media memuat ficer mengenai para aktivis, penemu, penggagas, dan pelopor  mengenai masalah lingkungan. Tapi sekali lagi, jumlah mereka cuma sedikit. Namun warga masyarakat lain diharapkan terinspirasi dan mampu meniru inovasi-inovasi mereka.

Kaum intelektual mungkin adalah elemen masyarakat yang selalu berpikir terhadap permasalahan bangsanya. Mereka berbicara di depan publik dan dengan gaya yang memukau dan mampu menguraikan permasalahan bangsa dengan analitis seraya memberikan solusinya dalam versi mereka. Kaum intelektual adalah mereka yang menggunakan rasionya untuk membedah masalah masyarakat dan bangsanya. Mereka berpikir, membaca, dan menulis. Mereka adalah sekelompok orang yang peduli dengan masalah gagasan, walaupun kadang tidak dimengerti oleh orang awam.

Sementara itu di negeri-negeri Asia lainnya, kemampuan berpikir begitu dihargai. Pemerintah dan rakyat China misalnya, selalu memikirkan bagaimana memajukan bangsanya. Menjadi bangsa terbesar dan termaju dalam perdagangan, pendidikan, teknologi, dan pertahanan. Jepang, tidak bisa dinafikan lagi, menjadi bangsa yang berpikir dalam berbagai macam hal sehingga mereka bisa menciptakan robot yang bisa berbicara. India, juga berpikir, membangun banyak sekali pusat riset internet di negeri Gajah itu. Korea Selatan apalagi berupaya memproduksi gawai-gawai tercanggih.

Ada semacam pemeo, anak-anak muda berpendidikan tinggi di Indonesia lebih suka menjadi pegawai negeri sipil daripada menjadi inventor atau inovator. Tak heran, dalam setiap ujian penerimaan PNS, selalu ramai disertai sarjana-sarjana dari perguruan-perguruan tinggi negeri di negeri kita. Tidak ada upaya untuk membangun inovasi baru dan menciptakan sesuatu yang lebih bermanfaat. Hal ini dikarenakan mereka menganggap PNS adalah pekerjaan idaman dan terhormat ketimbang menjadi peneliti atau penemu. Pola pikir semacam ini banyak menghinggapi generasi muda Indonesia.

Bagaimanapun bangsa Indonesia harus dilatih untuk berpikir atau bahkan dipaksa. Karena kalau tidak demikian bangsa Indonesia akan terus terjerembab menjadi negara berkembang tanpa berhasil masuk ke dalam negara-negara maju di dunia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun