Identitas Buku
Judul Novel : “Persiden”
Penulis : Wisran Hadi
Pengantar : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT. Bentang Pustaka
Tebal Buku : xvi + 380 hlm.
Tahun Terbit : 2010
Minangkabau tak habis-habisnya dieksplorasi untuk karya sastra, film, dan musik. Negeri yang tak terlalu luas ini bagaikan surga bagi pecinta sastra dan kebudayaan. Keunikan alam dan budaya mengundang decak kagum bagi orang luar. Selain itu, karakter orang Minangkabau yang khas kadang membuat geleng-geleng kepala orang-orang dari suku lain.
Novel “Persiden” karya almarhum Wisran Hadi yang diterbitkana tahun 2010 kembali menghadirkan permasalahan orang Minangkabau. Setiap puak di Minangkabau mempunyai permasalahan sendiri. Bagaimana orang Minangkabau beradaptasi dengan perubahan sosial yang hampir-hampir saja mengguncang psike (jiwa) orang Minangkabau.
Novel “Persiden” karya almarhum Wisran Hadi patut diapresiasi untuk mengetahui bagaimana sebenarnya orang Minangkabau menghadapi globalissi. Novel ini sebenarnya bercerita mengenai perebutan rumah gonjong milik satu kaum yang dikuasai oleh Cik Inan adik wanita terakhir dari lima bersaudara. Keempat kakaknya adalah laki-laki semua. Pembaca hendaknya jangan lupa bahwa adat Minangkabau itu matrilineal yang mengambil garis kesukuan dari ibu. Perempuan Minangkabau biasanya diperlakukan lebih istimewa dibandingkan kaum lelaki. Namun semua keputusan adat diambil oleh saudara lelaki ibu yang dipanggil mamak.
Rumah bagonjong yang diperebutkan oleh kelima bersaudara itu merupakan harta terakhir suku mereka. Keempat kakak laki-laki berupaya memperebutkannya kembali. Perjalanan mereka memperebutkan kembali hak pusaka rumah gonjong itu menjadi cerita yang menarik.
Latar belakang novel ini adalah sebuah kota di Sumatra Barat –sudah pasti kota Padang- yang mempunyai sebuah mal besar yang disebut “persiden” yang merupakan plesetan dari Mal Presiden. Kehadiran mal ini menimbulkan masalah sosial baru bagi masyarakat di sekeliling mal. Banyak anak muda yang nongkrong, minum minuman keras, menghisap ganja, berkelahi, mengganggu pengunjung mal, mencopet dan mencuri.
Mal “persiden” adalah gambaran kekalahan orang Minang melawan perubahan zaman. Kegamangan orang Minangkabau terhadap adat dan agamanya ditampilkan secara tersirat dalam novel ini. Tokoh utama dalam novel ini adalah Pa’ Rarau, Pa’ Mikie, Pa’ Tandang, Pa’ Ragih serta Cik Inan. Saudara-saudara lelaki Cik Inan ingin menyelidiki hamilnya kemenakan mereka oleh seorang guru mengaji. Padahal kemenakan mereka ini adalah seorang gadis yang shaleh. Malati, gadis itu, akhirnya “diungsikan” ke Yogyakarta untuk menutupi aib keluarga. Ia belum boleh kembali sebelum menjadi “orang” di rantau.
Sesungguhnya rumah gonjong adalah simbol Minangkabau yang sakral. Ia adalah simbol pertempuran hidup-mati antara pendukung adat dan penganjur modernisasi. Bagi orang Minangkabau, rumah bagonjong adalah rumah asal, tempat keluarga bermula, dan menjadi tumpuan harapan bagi orang-orang tua. Sayangnya, itu semua telah tergerus. Banyak suku yang tidak membangun rumah bagonjong lagi karena kebanyakan dari mereka beranak-pinak di rantau. Banyak juga dari mereka yang meninggalkan rumah bagonjong dalam keadaan kosong karena sebagian besar keluarga telah tinggal di rantau, termasuk orang-orang tua.
Nagari-nagari di Minangkabau terancam punah karena hampir 75 % penduduknya telah hengkang dari kampungnya sendiri. Kampung-kampung ditinggalkan dalam keadaan sepi. Baru menjelang Lebaran orang-orang pulang dari rantau.
Dari segi penceritaan, novel ini ditulis dengan menarik karena berbeda dengan novel-novel konvensional. Terkadang membingungkan karena bukan narasi yang urut. Dialog-dialog dalam novel ditulis singkat tidak seperti novel-novel lainnya yang sangat menekankan dialog. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menjadikannya sebagai novel unggulan 2010.
Sapardi Djoko Damono yang memberi kata pengantar dalam buku ini menjelaskan bahwa novel ini bagaikan ensiklopedia masalah Minangkabau. Sebagai orang luar, ia merasa diajak ke dalam permasalahan-permasalahan sosial orang Minang kini.
Sebenarnya hal ini tidak terlalu aneh. Novel-novel berlatar Minangkabau tidak melulu menyajikan pemandangan alamnya yang elok, tapi juga sisi antropologis dan sosiologis orang Minang. Sejak novel Marah Rusli “Siti Nurbaya”, “Salah Asuhan” (Abdoel Moeis), “Sengsara Membawa Nikmat” (Nur Sutan Iskandar), “Tenggelam Kapal Van Derwijk”, “Merantau ke Deli”, “Di Bawah Naungan Ka’bah”, (HAMKA) semuanya selalu berkaitan dengan sisi psikologis orang Minangkabau. Semuanya membahas krisis sosial budaya yang dialami masyarakat Minangkabau dari dulu hingga kini, termasuk bagaimana mereka memperlakukan diri mereka sendiri dan orang luar. Orang Minang yang katanya demokratis ternyata mempunyai permasalahan domestik yang akut.
Persoalan itu adalah masalah tradisi. Tradisi Minangkabau banyak yang masih dipertahankan di tengah keengganan generasi muda melanjutkan tradisi. Masih banyak orang Minang yang berpikir membangkitkan “batang tarandam”. Masih banyak Minangkabau yang meromantisasi kembalinya tokoh-tokoh Minangkabau dalam percaturan politik bangsa. Sebagian lagi merindukan kelahiran ulama-ulama yang cerdas dari rahim Minangkabau.
Meromantisasi masa lalu sering kali membuat kita melupakan masa depan. Dahulu memang banyak tokoh Minang yang berperan besar untuk bangsa ini. Namun jangan sampai hal ini menjadi masa lalu yang membunuh masa depan.
Saat ini kondisi propinsi Sumatra Barat tidak lebih baik dari propinsi-propinsi lainnya. Dalam pendidikan, propinsi Sumatra Barat tidak menunjukkan prestasi yang membanggakan. Bahkan banyak anak muda Minang yang memilih melanjutkan pendidikan di tempat lain. Pendidikan di Sumatra Barat belum mampu bersaing dengan propinsi lain. Begitu juga di berbagai sektor. Dahulu pada masa penjajahan, Minangkabau menjadi eksportir kopi dan rempah-rempah. Kini ekonomi Sumatra Barat masih belum begitu baik. Pariwisata Minangkabau juga tidak lebih bagus dari Bali.
Akhirul kalam, puak Minangkabau perlu mengintrospeksi diri mengapa daerahnya tidak lebih baik dari propinsi-propinsi lain. Almarhum Wisran Hadi dalam novel “Persiden” seperti menyindir fenomena kekinian masyarakat Minangkabau di tanahnya sendiri. Masalah pusaka dan waris yang digambarkan Wisran Hadi dalam novel ini menandakan adat-istiadat yang masih bertahan walaupun digempur globalisasi. Wisran menggambarkan bagaimana etnis Minangkabau menghadang arus globalisasi. Yang baru belum tentu baik, yang lama jangan ditinggalkan. Bukan begitu?
Rantau Depok, 19 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H