Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Citra Minangkabau dalam Novel “Persiden” Karya Almarhum Wisran Hadi

19 Maret 2016   14:21 Diperbarui: 19 Maret 2016   14:50 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rumah bagonjong yang diperebutkan oleh kelima bersaudara itu merupakan harta terakhir suku mereka. Keempat kakak laki-laki berupaya memperebutkannya kembali. Perjalanan mereka memperebutkan kembali hak pusaka rumah gonjong itu menjadi cerita yang menarik.

Latar belakang novel ini adalah sebuah kota di Sumatra Barat –sudah pasti kota Padang- yang mempunyai sebuah mal besar yang disebut “persiden” yang merupakan plesetan dari Mal Presiden. Kehadiran mal ini menimbulkan masalah sosial baru bagi masyarakat di sekeliling mal. Banyak anak muda yang nongkrong, minum minuman keras, menghisap ganja, berkelahi, mengganggu pengunjung mal, mencopet dan mencuri.

Mal “persiden” adalah gambaran kekalahan orang Minang melawan perubahan zaman. Kegamangan orang Minangkabau terhadap adat dan agamanya ditampilkan secara tersirat dalam novel ini. Tokoh utama dalam novel ini adalah Pa’ Rarau, Pa’ Mikie, Pa’ Tandang, Pa’ Ragih serta Cik Inan. Saudara-saudara lelaki Cik Inan ingin menyelidiki hamilnya kemenakan mereka oleh seorang guru mengaji. Padahal kemenakan mereka ini adalah seorang gadis yang shaleh. Malati, gadis itu, akhirnya “diungsikan” ke Yogyakarta untuk menutupi aib keluarga. Ia belum boleh kembali sebelum menjadi “orang” di rantau.

Sesungguhnya rumah gonjong adalah simbol Minangkabau yang sakral. Ia adalah simbol pertempuran hidup-mati antara pendukung adat dan penganjur modernisasi. Bagi orang Minangkabau, rumah bagonjong adalah rumah asal, tempat keluarga bermula, dan menjadi tumpuan harapan bagi orang-orang tua. Sayangnya, itu semua telah tergerus. Banyak suku yang tidak membangun rumah bagonjong lagi karena kebanyakan dari mereka beranak-pinak di rantau. Banyak juga dari mereka yang meninggalkan rumah bagonjong dalam keadaan kosong karena sebagian besar keluarga telah tinggal di rantau, termasuk orang-orang tua. 

Nagari-nagari di Minangkabau terancam punah karena hampir 75 % penduduknya telah hengkang dari kampungnya sendiri. Kampung-kampung ditinggalkan dalam keadaan sepi. Baru menjelang Lebaran orang-orang pulang dari rantau.

Dari segi penceritaan,  novel ini ditulis dengan menarik karena berbeda dengan novel-novel konvensional. Terkadang membingungkan karena bukan narasi yang urut. Dialog-dialog dalam novel ditulis singkat tidak seperti novel-novel lainnya yang sangat menekankan dialog. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)  menjadikannya sebagai novel unggulan 2010.

Sapardi Djoko Damono yang memberi kata pengantar dalam buku ini menjelaskan bahwa novel ini bagaikan ensiklopedia masalah Minangkabau. Sebagai orang luar, ia merasa diajak ke dalam permasalahan-permasalahan sosial orang Minang kini.

Sebenarnya hal ini tidak terlalu aneh. Novel-novel berlatar Minangkabau tidak melulu menyajikan pemandangan alamnya yang elok, tapi juga sisi antropologis dan sosiologis orang Minang. Sejak novel Marah Rusli “Siti Nurbaya”, “Salah Asuhan” (Abdoel Moeis), “Sengsara Membawa Nikmat” (Nur Sutan Iskandar), “Tenggelam Kapal Van Derwijk”, “Merantau ke Deli”, “Di Bawah Naungan Ka’bah”, (HAMKA) semuanya selalu berkaitan dengan sisi psikologis orang Minangkabau. Semuanya membahas krisis sosial budaya yang dialami masyarakat Minangkabau dari dulu hingga kini, termasuk bagaimana mereka memperlakukan diri mereka sendiri dan orang luar. Orang Minang yang katanya demokratis ternyata mempunyai permasalahan domestik yang akut.  

Persoalan itu adalah masalah tradisi. Tradisi Minangkabau banyak yang masih dipertahankan di tengah keengganan generasi muda melanjutkan tradisi. Masih banyak orang Minang yang berpikir membangkitkan “batang tarandam”.  Masih banyak Minangkabau yang meromantisasi kembalinya tokoh-tokoh Minangkabau dalam percaturan politik bangsa. Sebagian lagi merindukan kelahiran ulama-ulama yang cerdas dari rahim Minangkabau.

Meromantisasi masa lalu sering kali membuat kita melupakan masa depan. Dahulu memang banyak tokoh Minang yang berperan besar untuk bangsa ini. Namun jangan sampai hal ini menjadi masa lalu yang membunuh masa depan.

Saat ini kondisi propinsi Sumatra Barat tidak lebih baik dari propinsi-propinsi lainnya. Dalam pendidikan, propinsi Sumatra Barat tidak menunjukkan prestasi yang membanggakan. Bahkan banyak anak muda Minang yang memilih melanjutkan pendidikan di tempat lain. Pendidikan di Sumatra Barat belum mampu bersaing dengan propinsi lain. Begitu juga di berbagai sektor. Dahulu pada masa penjajahan, Minangkabau menjadi eksportir kopi dan rempah-rempah. Kini ekonomi Sumatra Barat masih belum begitu baik. Pariwisata Minangkabau juga tidak lebih bagus dari Bali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun