Akhirnya the Untouchable mengundurkan diri, setelah berbagai elemen masyarakat bereaksi mengenai kasusnya yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Ini adalah akhir yang dramatis setelah sinetron “Papa Minta Saham” dipertontonkan berulang kali di depan televisi. Rakyatnya pun sadar bahwa ia adalah figur yang tidak bisa dipercaya. Rakyat agaknya mulai sadar atas apa yang terjadi di di DPR di sana, sebuah dagelan yang memalukan.
Terkuak sudah berbagai upaya yang dilakukan Setya Novanto. Sebenarnya ini bukan cerita baru, tapi cerita-cerita yang lama yang dilakonkan banyak anggota DPR tanpa tersentuh hukum. Salut mungkin bisa kita ucapkan atas keberanian Soedirman Said yang berani melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Keberaniannya patut kita acungkan jempol. Sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya. Upaya anggota DPR untuk terlibat dalam proyek-proyek tertentu sebenarnya bukan hal baru. Terlalu banyak yang pernah terjadi tapi tidak terendus pers. Atau tapi memang tahu, tapi tak bisa dibuktikan karena berbagai macam alasan. Media kini tidak netral lagi.
Apa ini akhirnya? Akhir dari segalanya? Ternyata buntut dari kasus ini bisa meluas ke mana saja. Kontrak karya antara Freeport dan pemerintah RI masih harus diselesaikan. Beranikah pemerintah mengadakan upaya perundingan dengan Freeport mengenai apa yang semenstinya perusahaan itu lakukan kepada rakyat Indonesia dan khususnya rakyat Papua. Atau lebih ekstrim lagi beranikah pemerintah Indonesia menasionalisasi Freeport yang sudah bercokol lama di bumi Papua?.
Amien Rais mantan ketua MPR (1999-2004), dalam suatu wawancara di televisi baru-baru ini mengatakan ada tiga kejahatan pajak yang dilakukan Freeport. Pertama, masalah kerusakan lingkungan di Tembagapura dan sekitarnya yang begitu parah. Freeport membuat saja tailing atau kotoran sisa pengeboran emas (bukan hanya tembaga) ke sungai-sungai di sekitarnya sehingga membunuh tetumbuhan dan hewan yang menggantungkan hidupnya pada air bersih di sungai-sungai tersebut.
Kedua, masalah kejahatan pajak. Banyak pajak yang seharusnya disetor kepada pemerintah RI dan pemerintah Papua tidak dibayarkan. Hal ini juga melibatkan kong kalikong antara pejabat RI dan pejabat Freeport. Kasus ini melibatkan banyak pejabat dan penguasa dan pengusaha di masa lalu dengan Freeport. Bukan rahasia Freeport “berhasil memelihara” sejumlah pejabat militer. Kompleks Freeport dijaga ketat oleh tentara. Ketiga, kejahatan kemanusiaan. Sekuriti Freeport menembaki rakyat sipil yang mendulang emas di bekas-bekas galian emas Freeport. Menurut Amien, hampir 200 orang penduduk sekitarnya yang tewas.
Pemerintah harus berani mengungkap ini semua atas nama kebenaran dan keadilan. Sebegitu hebatnyakah Freeport sehingga berhasil membungkam pejabat Indonesia? Ataukah pejabat kita takut terhadap Amerika Serikat yang membekingi Freeport? Cobalah melihat para pemimpin pemberani di dunia ini seperti (alm) Hugo Chaves dari Venezuela, Evo Morales dari Bolivia, serta Mahmud Ahmadinejad sewaktu memimpin Iran pada dekade yang lalu.
Hugo Chaves berhasil menasionalisasikan kontrak-karya minyak tanpa ada balasan dari Amerika. Ia merenegosiasi kontrak-kontrak karya dengan perusahaan minyak dari Amerika dan Eropa. Lalu apakah AS mengirimkan tentaranya untuk menyerang Venezuela? Tidak. Amerika akan berpikir panjang jika harus memerangi Venezuela. Biaya politiknya terlalu besar.
Pejabat Indonesia mungkin takut Indonesia akan bernasib seperti Irak atau Libya yang berhasil dijatuhkan Amerika dan Uni Eropa dengan operasi intelijen. Namun saya kira, Amerika pun akan berpikir dua kali jika harus menginvasi Indonesia.
Sayangnya, pejabat kita bermental inlander atau mental budak. Tidak berani berkata “tidak” kepada pemerintah dan perusahaan asing. Sejak Presiden Soeharto berkuasa, Indonesia tidak berani lagi berkata “no” kepada pemerintah asing. Apalagi Amerika, Jepang, dan negara-negara IGGI. Para pejabat pemerintah RI selalu menyebut bangsa Indonesia bangsa yang lembut dan sopan kepada tamu asing. Kita tidak berani berdikari di negeri sendiri. Pejabat kita bermental budak selalu “Sendiko dhawuh” terhadap kemauan asing.
Hal ini terus dilakukan oleh pejabat-pejabat RI yang paternalistik. Selalu bersikap “Asal Bapak Senang” (ABS) kepada setiap tamu asing. Kita terlalu lama dicekoki bahwa hutang luar negeri dan investasi asing itu baik untuk perekonomian negara kita. Kita menjual sumber daya alam kita dengan harga murah. Rezim-rezim lain dari mulai Habibie, Gus Dur, Mega, dan SBY juga tidak berhasil mengatasi masalah Freeport. Mereka terkesan tunduk kepada yang membekingi Freeport.
Dalam sebuah wawancara dengan situs berita on-lin, John Perkins, mantan preman ekonomi (economic hitman) dan penulis buku The Confession of an Economic Hitman (Pengakuan Preman Ekonomi) menyebutkan bahwa masalah Freeport melibatkan banyak keluarga pejabat Orde Baru dan militer, termasuk keluarga Presiden Soeharto. Di sini permainan kekuasaan yang melibatkan uang, senjata, dan seks digunakan.
Masalah Freeport adalah duri dalam daging pemerintahan Jokowi-JK. Jika tidak diselesaikan akan banyak letupan di kemudian hari. Semoga Tuhan masih melindungi negeri ini. Wallahu a’lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H