Sudah lazim di negeri kita ini, jika seseorang mendapat jabatan tertentu maka sejumlah seremoni pun dilakukan untuk menyambut “anugerah” yang agung. Tak jarang, pejabat baru itu pun melakukan sujud syukur, syukuran, atau pesta perayaan. Kekuasaan atau jabatan publik dinilai sebagai sebuah anugerah, bukan amanat.
Di negeri kita, Indonesia, masyarakat cenderung menilai kemuliaan seseorang dari status dan pangkatnya. Orang kaya lebih dihormati daripada orang miskin, tak peduli kontribusi apa yang telah diberikan orang miskin kepada masyarakatnya. Orang kaya dihormati layaknya raja dan masyarakat pun berharap orang kaya itu pun bersedia memberikan sedikit hartanya kepada masyarakat yang kebanyakan miskin iman, miskin ilmu, dan –tentu saja miskin mental.
Fenomena ini adalah sesuatu yang jamak di negeri kita. Masyarakat Indonesia saat ini cenderung materialistik atau menilai sesuatu atau seseorang dari materi yang dimilikinya. Profesi guru, pemulung, polisi, ustadz, ulama, petugas kebersihan akan dianggap rendah dan tak memiliki arti kecuali yang bersangkutan mempunyai harta yang banyak. Walapun profesi itu banyak berkontribusi kepada kebaikan masyarakat.
Tak heran, ustadz dan ulama yang kaya lebih dihormati dari profesi sejenis yang miskin harta (baca: duit). Tak peduli apakah ustadz dan ulama itu lebih mendalam ilmunya atau telah berkontribusi positif bagi kemajuan masyarakat.
Itulah ironi masyarakat konsumer. Masyarakat kita adalah pengkonsumsi segala macam simbol dan status. Televisi telah menjadi “tuhan” yang menentukan kemuliaan seseorang di balik make up dan gincu sang perias wajah seorang ustadz atau ulama di balik layar. Televisi telah menjadi permainan simbolik yang penuh rekayasa tanpa kedalaman.
Di tengah kompetisi politik di era demokrasi liberal saat ini, banyak orang berlomba untuk meraih jabatan-jabatan publik dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Bahkan pemilihan ketua RT dan RW kini pun dilakukan melalui pemungutan suara. Apalagi untuk jabatan seperti kepala desa, walikota dan wakilnya, gubernur, anggota DPR/DPRD, menteri, ketua MPR dan DPR, sampai presiden dan wakil presiden. Banyak orang berlomba merebut kekuasaan. Namun tujuan bukan untuk mengabdi kepada Tuhan dan masyarakat, melainkan demi prestise dan kekayaan pribadi.
Pangkat dan Kekayaan dalam Perspektif Islam
Kebanyakan kita silau dengan jabatan atau pangkat atau kekayaan seseorang. Padahal Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang –sudah tentu- jarang dikutip para dai karena terlalu radikal mengatakan, “Barang siapa yang berdiri untuk menghormati orang karena kekayaannya, maka hilanglah sepertiga agamanya.”
Ini berarti jangan menggadaikan agama dengan kekayaan. Jangan mengukur seseorang dari kekayaan tetapi dari agama dan amal shalehnya. Tidak cuku hanya shaleh pribadi tetapi juga shaleh sosial. Rasulullah adalah teladan bagaiman menjadi saleh di hadapan Tuhan (habl min Allah) dan berakhlak mulia di tengah-tengah masyarakat (habl min an-nas).
Begitu juga dengan jabatan. Dalam perspektif Islam, pangkat atau jabatan adalah amanat, bukan anugerah. Sekian banyak cerita dalam khazanah Islam, betapa pangkat dan jabatan dapat menghinakan seseorang jika ia tak dapat memikulnya. Bahkan dalam banyak hadis disebutkan, orang yang tak dapat menjalankan amanat yang menyangkut orang banyak dengan baik akan diazab oleh Tuhan pada hari Kiamat nanti. Ia harus mempertanggungjawabkan jabatan yang dipikulnya kepada Tuhan di hari pengadilan nanti.
Selain itu, Nabi saw bersabda kiamat atau kehancuran akan tiba jika sebuah amanat tidak diserahkan kepada ahlinya. Pengertian ahli di sini adalah orang yang mempunyai kemampuan atau kapasitas untuk menjalankan kekuasaan itu.
Di masa lalu, ada ulama yang berpura-pura gila ketika diangkat untuk jabatan tertentu oleh khalifah agar ia dibebaskan dari jabatan itu. Ada pula ulama yang menolak diberi jabatan menteri karena harus memindahkan buku-bukunya yang berjumlah ribuan ke rumah dinas menteri yang baru. Mereka adalah orang-orang yang memahami betul agama.
Dalam sejarah Islam, para sahabat sangat enggan menerima amanat karena takut tidak sanggup memikulnya. Akhirnya proses pemilihan pemimpin dalam Islam dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat bukan dengan voting atau pemungutan suara. Nabi Muhammad SAW sendiri mewanti-wanti untuk tidak memberikan amanat kepada orang yang memintanya karena dikhawatirkan orang itu tak mampu menjalankannya atau karena orang itu memiliki kepentingan tersembunyi.
Pada pemilihan khalifah pertama Islam Abu Bakar As-Shidiq RA dilakukan dengan proses penunjukan setelah musyawarah untuk mufakat. Hampir saja terjadi perkelahian antara kaum muhajirin dan Anshar di Tsaqifah Bani Sa’adah untuk menentukan siapa yang akan menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat. Penunjukan ini dilakukan mengingat Abu Bakar adalah salah-satu orang yang pertama kali masuk Islam, sangat dekat dengan Nabi, dan pernah ditunjuk sebagai imam shalat menggantikan Nabi yang sedang sakit.
Dalam pidato pelantikannya, Abu Bakar mengatakan bahwa ia bukan yang terbaik di kalangan umat Islam. Ia menerima jabatan ini sebagai amanat, bukan anugerah. Terbukti ia tidak melakukan sujud syukur seperti yang dilakukan para pejabat Indonesia. Abu Bakar dikenal sebagai orang yang zuhud dan wara’, ia tidak menggunakan kekuasaan untuk diri dan keluarganya sendiri. Dalam masa kepemimpinannnya, ia dikenal tidak pernah mengumpulkan kekayaan untuk dirinya.
Sedangkan pemilihan khalifah kedua, yakni Umar bin Khattab RA dilakukan dengan pembentuka sebuah komite ad hoc yang terdiri dari beberapa sahabat senior. Para sahabat inilah yang kemudian memilih Umar untuk menjadi khalifah. Umar tidak dapat menolak dan ia menerimanya demi kepentingan umat Islam.
\Ketika Umar bin Khattab RA berkuasa pernah ada seseorang mengusulkan orang lain untuk menempati jabatan tertentu. Umar pun bertanya, “Apakah kamu pernah mengadakan perjalanan dengan orang itu?”
"Tidak,” jawab orang itu. Umar pun lanjut bertanya,” Apakah kamu pernah berurusan dengan orang itu dalam masalah uang?” Orang itu pun menjawab tidak. “Lalu dimana kamu mengenal orang itu?” tanya Umar. “Di masjid,” jawab orang itu lagi. “Berarti kamu tidak tahu apa-apa tentang orang itu,” kata Umar tegas.
Kisah Khalifah Umar ini memberikan pelajaran kepada kita seyogyanya kita tidak menilai seseorang hanya dari ibadah ritualnya atau kesalehan pribadinya saja. Kita harus melihat apakah orang ini jujur dan amanah dalam menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Agama bukan hanya ritual, tetapi akhlak terhadap sesama manusia.
Oleh karena itu, seorang muslim yang mendapat jabatan seyogyanya tidak mengadakan sujud syukur apalagi pesta perayaan. Seharusnya ia lebih mawas diri dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan rakyatnya. Ia dianjurkan lebih banyak berpuasa dan shalat malam agar dibimbing oleh Allah SWT. Salah-satu orang yang mendapat naungan Allah SWT pada hari Kiamat nanti adalah pemimpin yang adil. Tentu untuk menjadi adil bukanlah sesuatu yang mudah.
Di dalam Al-Qur’an ada doa untuk meraih jabatan tertentu dalam kehidupan publik. Namun doa itu menegaskan yang berhak memberikan kekuasaan hanya Allah. Dialah yang lebih mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang. Dialah yang lebih tahu apakah orang tersebut berniat busuk atau sebaliknya.
Penutup
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kriteria seorang pemimpin dalam pandangan Islam. Pertama, ia harus orang yang beriman dan bertakwa. Orang yang ateis walaupun baik tidak pantas memimpin masyarakat yang beragama. Hal ini berkaitan dengan tanggung-jawabnya kepada Tuhan. Kedua, kecakapan atau kapabilitasnya. Ia haruslah orang yang berilmu dan mempunyai kemampuan untuk memimpin. Ketiga, akhlak atau moralnya. Ini sangat penting agar rakyat tidak salah pilih. Pemimpin yang berakhlak akan berupaya menjalankan kekuasaannya dengan bermoral. Wallahu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H