Identitas Lagu
Judul lagu: Tejanata
Jenis: Ketawang GendingÂ
Laras: Pelog
Titi Laras: Pathet Lima
Ketuk: 2 kerep (merong) minggah ladrang
Dirangkai dengan gending: Ladrang Sembawa dan Ladrang Playon
Saya akan membahas sebuah bentuk resensi yang tidak biasa. Jika biasanya Anda akan dengan mudah menemukan resensi buku, film, series, ataupun musik, kali ini saya akan meresensi lagu tradisional Jawa. Bagi sebagian besar orang Indonesia saat ini, musik tradisi dinilai ketinggalan zaman.Â
Anak muda zaman sekarang lebih menggandrungi musik pop barat ataupun K-pop. Musik tradisi hanya dianggap sebagai suatu khazanah yang eksistensinya pun belum tentu mereka ketahui. Namun bagi beberapa orang (termasuk saya), musik tradisi khususnya karawitan Jawa dapat dinikmati layaknya musik pop di masa kini.Â
Bagi saya, gamelan dapat menyajikan perasaan terdalam manusia dan menggugah hati pendengarnya. Sebagai disclaimer, saya bukan merupakan akademisi maupun praktisi karawitan. saya menulis resensi ini sebagai penikmat musik tradisi.Â
Demikian pula sebuah lagu klasik jawa (disebut juga gending) yang berjudul Tejanata. Nama ini diambil dari bahasa jawa kuno dan krama yakni teja yang berarti sinar dan nata yang berarti raja. Jika dirangkai, Tejanata berarti sinar sang raja. Gending ini disajikan dalam perangkat gamelan berlaras pelog, dengan titi laras pelog lima. Gending dengan titi laras pelog lima sendiri memiliki ruang khusus di hati saya.Â
Hal ini dikarenakan gending-gending yang memiliki titi laras pelog lima seperti Ketawang Ibu Pertiwi, Majemuk, Ladrang Ubaya, Gending Daradasih, dan lain sebagainya, memiliki nada-nada yang gagah dan berwibawa. maka sangat layak jika Gending Tejanata ini memiliki titi laras pelog lima. Bagi Anda yang kurang familiar dengan titi laras pelog lima, titi laras ini memiliki tangga nada yang memiliki kekhasan dalam nada pelog. Hal ini karena titi laras ini menyentuh nada 4 (pat) yang jarang terdengar di titi laras pelog 6 dan pelog barang.Â
Gending ini berjenis ketawang gending. Gending ini disajikan dalam irama bedhayan dengan iringan vokal. Tejanata biasa disajikan dalam rangkaian beserta Ladrang Sembawa setelahnya kemudian diteruskan dengan Ladrang Playon. Penyajian Gending Tejanata (dalam garap bedhayan) didahului dengan pathetan lima ageng, lalu diawali dengan buka rebab.Â
Bagian merong terdiri dari tiga cengkok (3 kali gong) dalam enam rambahan (6 kali pengulangan), kemudian inggah lima rambahan. Alunan berlanjut ke Ladrang Sembawa sepanjang enam rambahan dan diakhiri dengan Ladrang Playon yang diulang enam kali pula. Sajian ditutup dengan pathetan lima jugag. Penyajiannya menggunakan instrumen kendang setunggal dan instrumen gamelan lainnya secara lengkap.Â
Seperti namanya, lirik dalam gending ini menggambarkan kewibawaan raja. Berikut lirik (cakepan) gending Tejanata.
Pamarsudi seseg gendhing Tejanata, andhe
Ing ri kulem kemis ping catur kang a candra, andhe
Madilakir umadadya Ehe kang warsa,
Sinengkalan Toyeng Dyah Swaraning Jalma,
Kang ginita Banjaransari yuda,
Lan narpa dyah Galuh prawireng ayuda,
Prabu Kenya ngrasuk busana bra mulya,
Amakutha, jejamang kinarawistha.
Terjemahan bebas (Wijaya, 2013)
Peseseg mempelajari dengan sungguh-sungguh,
Gendhing (lagu) Tejanata,
 Pada hari kamis malam tanggal 4 bulan Madilakir tahun Ehe,
 Diperingati dengan angka tahun 1764 Caka,
 Penulisan pada waktu Banjaransari berperang dengan raja,
 Perempuan di Galuh yang gagah perwira (peng-pengan di paprangan).
 Prabu Kenya berpakaian mulia yang bersinar,
 Berkuluk memakai jamang untuk menghindari bahaya (untuk tameng)
Dikarenakan bahasa yang digunakan terlalu puitis dan kuna, maka saya akan berusaha memberikan penafsiran singkat mengenai lirik lagu ini. Lirik lagu ini menggambarkan cerita para wanita dari Kerajaan Galuh yang dipimpin raja wanita yang berpakaian mulia dan bersinar.Â
Gending ini memiliki sejarah bersama sebuah tari yang bernama sama, Bedhaya Tejanata. Tari dan gending ini sejatinya merupakan yasan dalem (ciptaan raja) dan paringan dalem (pemberian raja) Sinuhun Susuhunan Pakubuwana X (PB X) dari Karaton Surakarta yang diberikan kepada Sri Paduka Paku Alam VII saat mempersunting putri PB X yang bernama BRA. Retna Puwasa.Â
Sebelum gending dan tari ini diberikan, situasi Pura Pakualaman saat itu secara politik sedang merosot. Maka gending dan tari ini menjadi simbol pancaran cahaya sang raja yang kembali mengayomi dari istana. Tak ayal, gending ini memiliki nuansa mistik yang penuh kewibawaan.
Selain sebagai iringan tari Bedhaya Tejanata, gending ini dapat disajikan dalam konser karawitan klasik (uyon-uyon) ataupun menjadi gending pakeliran (untuk mengiringi pementasan wayang). Di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, gending ini sudah biasa diujikan sebagai tugas akhir mahasiswa ataupun ujian pembawaan.Â
Gending ini juga bisa disajikan sebagai pengiring pertunjukan wayang untuk adegan jejer (pertemuan kerajaan). Penggunaan seperti ini pernah dilakukan oleh Ki Sayoko dalam lakon Parta Dewa. Meski demikian, gending ini dapat dinikmati serta-merta melalui rekaman yang tersebar di platform audio digital seperti Spotify maupun Youtube.
Selanjutnya, saya akan merekomendasikan rekaman Gending Tejanata yang berkualitas bagus. Pertama, dalam album "Javanese Court Gamelan", terdapat rekaman Gending Tejanata. Rekaman ini direkam oleh etnomusikolog asal Amerika Serikat, Robert E. Brown. Album ini dirilis 10 Januari 1971 yang dikomposeri oleh K.R.T Wasitadiningrat/ Ki Cokrowarsito dengan gamelan Kyai Telaga Muntjar Pakualaman.Â
Rekaman ini berdurasi 18 menit 29 detik. Kedua, dalam album "Sembawa Bedhayan". Rekaman ini dilakukan oleh Karawitan RRI Surakarta yang direkam oleh Lokananta Recording. Ketiga, dalam kanal Youtube Iswanto Gamelan 20. Rekaman dilakukan saat ujian pembawaan mahasiswa ISI Surakarta.Â
Dalam pengamatan subjektif saya, Gending ini memiliki beberapa keunggulan. Gending ini membawa kesan kewibawaan dan berirama santai. Sangat cocok bila gending ini didengarkan sembari leyeh-leyeh (bersantai) untuk menyegarkan pikiran. Dapat pula didengarkan sebagai musik relaksasi sebelum memejamkan mata untuk tidur. Gending ini juga cocok untuk menjadi pengiring kegiatan relaksasi lainnya seperti yoga. Bahkan lagu ini sedang saya putar saat saya menulis resensi ini.Â
Meski demikian, saya menemukan beberapa kekurangan gending ini. Karena bernuansa mistis, gending ini bagi orang yang tidak paham gamelan akan dikira lagu horor atau pemanggil makhluk halus. Tidak hanya itu, gending ini tidak bernuansa gembira dan memiliki kesan serius, sehingga tidak cocok untuk menghibur diri. Dengan garap gending yang panjang, durasi penyajian gending berkisar 20 menit. Durasi ini tentu terlalu lama untuk didengarkan dan hanya penikmat musik gamelan saja yang akan kuat menikmatinya sampai paripurna.Â
Lagu ini sudah menjadi tangga lagu teratas dalam daftar putar musik saya. Saya pun berani memberikan bintang lima kepada karya musik ini dikarenakan keindahan dan wibawanya. Bagi Anda yang minimal doyan menikmati musik yang mirip seperti gending ini, saya memiliki beberapa rekomendasi untuk Anda. Dhenggung Turulare merupakan gending bonangan dengan titilaras yang sama dengan Tejanata. Dalam laras slendro, Ladrang Siyem bagi saya memiliki aura wibawa yang hampir mirip seperti Tejanata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H