Mohon tunggu...
Muna Handifo
Muna Handifo Mohon Tunggu... Lainnya - single fighter street fighter

petani tradisional, pernah terdampar di pasar tradisional, terkungkung di warung tradisional dan melakoni street marketing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan dari (untuk) Pasar Tradisional (2)

20 Oktober 2011   03:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:44 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kuayunkan kembali langkah kaki dalam langkah tegak, Saya menginjakkan kaki kembali di pasar tradisional, pagi ini begitu ramai, tas hitam yang menemaniku dengan papan pengalas serta  serta folpen merek kenko, kembali mencakar-cakar, ah harga-harga masih terasa stabil, harga daging ayam yang membuatku cukup tersenyum entah jawaban responden yang gak jujur atau memang begitu kenyataannya, di suatu tempat harga mencapai 15.000 tapi di tempat lain bisa sampai 20 ribu, masih penasaran kucari pedagang lain jawabannya di pertengahan 18.000.

Mengapa harga begitu mencolok perbedaannya, ah ternyata alur pasoknya yang satu melalui agen, dia adalah pedagang tangan ke sekian, sedangkan yang satunya lagi langsung beli ke peternak. Persoalan harga memang menjadi masalah serius sipatra.  Fluktuasi sering  sekali terjadi. rantai distribusi yang panjang,  menyebabkan harga menjadi berbeda, faktor lain ketika harga mengalami kenaikan atau penurunan dari distri atau apalah namanya,  stok yang ada di pedagang pecer masih ada, kalau harga naik dari distriya untung tapi kalau harga turun ya buntung.

Untung buntung itu mainan sipatra beda  sialfa yang mencak-mencak, silotte atawa sicare pada bersaing, mereka itukan punya modal bejibun, pemiliknya itu punya apa saja ada, hanya sipatralah yang sering komat-kamit baca mantra atawa sumpah serapah. Tak Mungkinlah sepeda buntutku mengalahkan ferrari, katinting mengalahkan motor laut ataukah  cecak bertarung lawan buaya. paling mencak-mencak saja. Ah saya tidak berpikir gerakan sosial.

ah...kembali sepeda buntutku menyusuri jalanyang semakin padat, kali ini menuju sebuah pasar lain iseng-iseng bertanya harga tomat, alamak,,, mataku membelalak "harga jualnya berapa perkilo bu? 2000 rupiah, harga "belinya berapa",  1000 rupiah jawab si ibu dengan senyum yang agak sedikit kecut. "ah yang benar bu", serasa tak percaya harga tomat belinya seribu perkilo dari pedagang yang sudah menempuh puluhan kilometer, kira-kira harga di petani berapa yah? sejenak si ibu penjual berpikir yah kurang lebih 300 rupiah, hhhhmmm teringat beberapa tahun yang lalu ketika mendampingi petani di salah satu kabupaten, keringat pak Syam yang menetas membasahi sekujur tubuh masih lekang di ingatan, harga pupuk melonjak tajam, harga bibit apalagi, petani dapat apa? Cukup capek ajah, cukup!!! mereka toh warga kelas sekian di negeri ini, siapa yang salah??? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang? yang memberi reaksi kala angin menerpanya!!!, ataukah hati pemimpin negeri ini seperti batu karang?, ah jangan-jangan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun