Mohon tunggu...
Muna Handifo
Muna Handifo Mohon Tunggu... Lainnya - single fighter street fighter

petani tradisional, pernah terdampar di pasar tradisional, terkungkung di warung tradisional dan melakoni street marketing

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibu Pertiwi yang Terus Menangis

17 Desember 2011   09:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:08 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

sesak

napas ini...

kering

tenggorokan ini...

amis

bau badan ini...

kelu

lidah ini...

rabun

mata ini...

perih

rasa ini...

linglung

gelagat ini...

sempit

cakrawala ini...

keroncongan

perut ini...

ngilu

geraham ini...

berdiri

bulu kuduk ini...

Mengeja sabda-sabda alam...

Laut Membentang luas...

Mutiara berkilauan, ikan menggeliat, satwa-satwa bercengkrama...

Daratan Menghampar membentang...

Hutan hujan tropis memayungi...

Padi- jagung-ketela-sagu, sayuran dan palawija menghidupi...

Kilauan intan, emas dan hasil tambang lainnya menghiasi...

Matahari menyinari...

Hujan Membasahi...

Angin bertiup menyejukan...

---------------

Kereta di ciptakan...

Jalan di buat...

pesawat di hasilkan...

Telepon di adakan...

Dunia menjadi selebar daun kelor...

Sempurnalah kekayaan negeriku

----------------

Berpestalah bangsaku...

lupa diri... ketamakan... konspirasi...

melahap... menyikat... mempreteli...

menginjak-injak... merampas...mengotori...

----------------

Rakyat masih sebatas simbol...

kemakmuran hanya bahasa kampanye...

Janji-janji usang untuk melangsungkan kekuasaan...

"kekurangan" di pelihara...

----------------

Jilat-menjilat menjadi budaya...

Feodalisme masih mencengkeram erat...

Premanisme apalagi...

Demokrasi hanya slogan...

-------

Pertiwi menjerit...

Pertiwi menangis...

Pertiwi mengemis....

Oleh kelakuan bangsanya yang tak bersyukur...

.

Gubuk Transisi, 17 Desember 2011

Muna Handifo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun