Mohon tunggu...
Muna Handifo
Muna Handifo Mohon Tunggu... Lainnya - single fighter street fighter

petani tradisional, pernah terdampar di pasar tradisional, terkungkung di warung tradisional dan melakoni street marketing

Selanjutnya

Tutup

Money

Saran Untuk Iklan Rokok!

4 November 2011   06:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:04 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberapa besar sebenarnya pengaruh iklan rokok terhadap keinginan seseorang untuk menikmati rokok. Saya belum browsing tentang hal ini tapi biarlah. Saya mencoba curhat tentang kebiasaan buruk saya merokok, saya menyebutnya kebiasaan buruk karena saya sudah mendapatkan dampak buruk dari kegiatan merokok, meski pemeriksaan intensif semacam  rontgen belum saya lakukan, tapi dokter pernah menyimpulkan bahwa penyakit yang saya derita saat itu pengaruh rokok. Ceritanya saya harus terkapar di tempat tidur akibat dada saya sakit, yang besar kemungkinan di sebabkan oleh rokok yang saya isap, yang hingga kini kadang masih terasa.

Saya mungkin bisa di kategorikan perokok setengah berat. Dulu saya bisa menghabiskan rokok antara 1-2 bungkus per hari bahkan 3 bungkus. Kegiatan merokok mulai saya lakukan sejak kecil. Di kelas 3 SMP saya sudah mulai merokok, terdorong oleh lingkungan, teman-teman sepergaulan yang begitu menikmati tarikan asap rokok saya terpancing untuk ikut menikmati. Di awal-awal saya mencoba, sama sekali tidak merasakan kenikmatan rokok. Kenapa? Ternyata kesalahan mendasarnya,  saya tidak tahu caranya bagaimana membuang asap lewat hidung, hingga suatu hari seorang teman mengajari saya cara membuang asap lewat hidup. Di situlah titik awal saya mulai menjadi penikmat rokok.  Setiap hari saya bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok. Meski tanpa sepengetahuan orang tua (sembunyi-sembunyi). Kegiatan itu berlangsung sampai saya menamatkan Sekolah Menengah Atas di umur 18 tahun. Setelah itu saya meninggalkan kampung halaman, sempat mengurangi intensitas merokok karena status sebagai anak kos-kosan, hingga akhirnya putus sambung bekerja dan menjadi perokok berat bahkan 3 bungkus bisa saya habiskan per hari. Kalau di hitung-hitung selama sekian tahun itu dikali sekian ribu, kira-kira sudah berapa juta uang yang saya bakar? Lumayanlah untuk kantong kere seperti saya hehehe.

Kembali ke laptop, eh iklan rokok. Terus terang pengaruh iklan rokok terhadap saya cukup besar, berawal dari keinginan untuk menikmati sensasi yang berbeda pada setiap rokok yang saya baru lihat, saya mencoba rokok yang ditawarkan oleh perusahaan rokok. Saya ingat persis dulu kawan2 saya mengganti nama saya dengan sebutan salah satu merek rokok, hanya karena saya menyaksikan di TV sebuah iklan rokok. Ketika saya turun di kota saya mencarinya dan saya membeli satu bungkus. Saat saya mencoba menikmatinya namun saya kecewa dengan rasa yang di tawarkan hingga saya memutuskan untuk membagi kepada teman-teman SMA saya dan apa jadinya teman-teman meledek saya, katanya rokoknya bau.... Akhirnya sejak saat itu teman SMA mengganti nama saya dengan merek salah satu rokok (tidak usah saya sebutin yah, nanti menyudutkan produk rokoknya hehehe). Begitu seterusnya setiap ada iklan rokok baru dan kebetulan ada yang menjualnya pasti saya mencobanya.

Kembali ke iklan, ada sesuatu yang paradoks dari iklan rokok yang di tampilkan oleh para pengiklan yang di syaratkan oleh pemerintah. Bagaimana mungkin keinginan mengajak di barengi dengan keinginan melarang, menurut saya ini kesalahan yang nyata dari pemerintah yang memberi prasyarat tersebut. yang lebih aneh lagi kemasan larangan itu di buat sekecil mungkin,  baik pada bungkus rokok maupun iklan yang di tayangkan di media massa ataupun baliho-baliho besar. Durasi antara ajakan dengan larangan sangat jauh berbeda (iklan tivi) sedangkan pada iklan-iklan berupa baliho, tulisan larangan itu di buat terkucil di bagian bawah dengan warna hitam, lebih menonjolkan ajakan untuk menikmati rokok. Apakah ini cara pemerintah melindungi kesehatan warga negaranya?

Sekiranya saja saya boleh usul, ini hanya usul, bagaimana seandainya pemerintah mensyaratkan kepada pengiklan rokok agar dominasi larangan pada sebuah iklan ketimbang pengenalan produk/ajakan dari pengiklan, Minimal sebandinglah. Misalnya pengiklan di wajibkan menayangkan bahaya merokok baru di bagian akhir di perkenalkan merek rokok yang di tawarkan (untuk iklan media TV dan media OL lainnya), sedangkan baliho dan seterusnya, peringatan bahaya merokok lebih di perbesar dan pengenalan produk/rokok di bikin sekecil mungkin atau minimal sama. Atau gantianlah dengan apa yang ada sekarang ini.

Atau mungkin bisa juga di lakukan dengan menampilkan secara berbeda, masing-masing di tayangkan sendiri-sendiri. Pengiklan di persilahkan memperkenalkan produknya, sedangkan pemerintah berkewajiban mengkampanyekan bahaya merokok. Pertanyaannya anggarannya dari mana? Bukankah cukai rokok salah satu penyumbang devisa negara yang besar, nah dengan demikian harus ada alokasi dana yang di ambil dari pajak rokok untuk iklan bahaya merokok. Adil bukan?

Note : Di tulis semata-mata berbagi akan bahaya rokok. Tidak melarang bagi para penikmat karena saya juga mantan penikmat yang baru beberapa bulan ini berhenti merokok, mudah-mudahan seterusnya :).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun