Tidak hanya satu orang, bahkan jutaan manusia menyempatkan diri membaca koran, tidak gratis bahkan membeli. Pagi diawali dengan rencana kesibukan harian, tetapi menyimak berita adalah menu praktis untuk mendapatkan makan siang yang asyik. Harus ada topik gosip yang disiapkan. Kian renyah jika tema yang diangkat masih bias: tak seorangpun tahu, sehingga semua berhak bicara menerka. Rutinitas perbincangan kian ambigu, menggunung tumpukan curiga, masyarakat bergerak menghimpit atmosfir sosial, harus ada yang disalahkan, alasan belakangan.
Semakin parah saat kasak kusuk menjadi industri, tak ragu bahkan ciptakan drama sebagai bahan liputan. Brutal, media massa keranjingan pada sensasi emosi massal dan oplah. Pikiran jurnalisme hanya pengantar bulan pertama menjadi wartawan, setelahnya, yang penting kejar setoran. Berita bisa dicipta, kongkalikong antar kru media sudah biasa, toh redaktur tak cukup waktu menilai, terpenting membuat pemodal tetap tersenyum. Hitungan akuntansi perhitungan laba lebih mahal dari kejujuran. Everything fine, apalagi?
Kemurnian ditelikung, profesionalisme dikhianati. Sebutan bodrek sesungguhnya tidak lagi tepat, karena seakan wartawan dan pihak terliput banyak yang telah hilang kepala, lantas apa dipertahankan. Transaksi kian luwes dan menguntungkan. Kehormatan diukur dari angguk-angguk dan buasnya emosi masyarakat setelah kabar burung disuapkan, ke jutaan meja disamping kopi dan sepiring cemilan. Kriuk dan renyah, bagai gorengan yang dicampur plastik, tetap kering dalam dingin, apalagi jika baru turun dari wajan. Wajah berita masa kini.
Masyarakat tak punya kesempatan lagi belajar, apalagi merenung. Karena berbahaya, berdiam dalam lingkungan penuh kuman. Kepala harus sehat, tulisan kotor tentu harus dijauhi.
Tetapi duit seribu saja kini sudah dapatkan sarana mencela. Provokator bukan lagi berbentuk seorang berbadan aneh berdiri di tengah kerumunan, tapi lebih ramping, bahkan bisa diajak tidur diatas kasur. Melalui internet, teknologi sanggup menghadirkan apa yang dahulu tak bisa.
Jurnalisme Indonesia adalah jurnalisme bar-bar, disebut demikian karena ia muncul membunuh apa saja, sampai kebaikan tidak tersisa. (hk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H