Mohon tunggu...
hantu rimba
hantu rimba Mohon Tunggu... -

more fun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pelemahan KPK dan Titik Temu Kepentingan Politik DPR

17 Februari 2015   00:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Kapala Kepolisian RI (Kapolri) menjadi penanda penting berakhirnya euforia Pilpres 2014 di Senayan. Perseteruan sengit dan perpecahan antara pendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) sirna dalam sekejap mata saat berjamaan mendorong calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan, yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dugaan gratifikasi dan kepemilikan rekening gendut.

Akhirnya rakyat bisa melihat para pemimpin negeri ini berdamai. Namun sayang momentum mempertemukan kedua kubu politik pada momentum yang salah, bukan untuk membela rakyat, tapi untuk membela seorang tersangka korupsi. Memang, Presiden Jokowi lah yang membuka jalan, namun DPR yang mengolahnya hingga masuk dalam kerangkeng besi bagi cita-cita besar pemberantasan korupsi di negeri ini.

Pembela Jokowi mungkin beralasan bahwa pengajuan calon Kapolri dilakukan sebelum ditetapkan sebaga tersangka, sementara pembela oposisi bilang bahwa persetujuan DPR dilakukan agar bola panas kembali pada Jokowi. Dalam perkembangan kasus kita tahu motif sebenarnya adalah menjadikan isu ini sebagai sandra politik, mengunci kepentingan. Melampaui perdebatan siapa benar, siapa salah atau siapa pembela rakyat, atau pengkhianat rakyat.

Bagi parlemen, momentum Kapolri menyasar dua target: memaksa pemerintah untuk menjalankan politik transaksional, sekaligus menuntaskan dendam politik pada KPK. Dua kepentingan ini tak ada kaitannya dengan rakyat.

Motif pertama terlihat jelas dari cara parlemen membuat dilema antara membela konsitusi dan membela konstituen (rakyat). Parlemen terus mendesak pemerintah untuk memaksakan pelantikan Komjen Budi Gunawan karena alasan produral konstitusi: bahwa Presiden melanggar konsitusi jika tidak melantik calon Kapolri yang sudah disetujui DPR. Presiden harus tetap melantik meski itu bertentangan dengan moralitas dan keadilan di mata konstituen mereka.

Dengan isu ini, DPR mencoba untuk meningkatkan posisi tawar kepada pemerintah untuk mendapat ‘jatah’, apalagi polemik bertepatan dengan penetapan APBN-P 2015. Untuk apa Aburizal Bakrie bolak balik istana?, mengapa pula Prabowo mendadak bersemangat bertemu dengan Jokowi?, kenapa PDIP justru terkesan bersikap antagonis kepada Presiden yang diusungnya sendiri? Bukankah Jokowi lebih mudah memutuskan soal Kapolri jika sekedar ingin memenuhi hasrat politisi Senayan?

Tidak sesederhana itu, di balik semua ini, sangat mudah menerka bahwa negosiasi politik sedang berjalan. Alotnya transaksi membuat keputusan Presiden berlarut-larut. Jika kepentingan kelompok-kelompok di parlemen tak terpenuhi, maka beberapa jebakan sudah disiapkan: mulai dari ancaman pemakzulan, penghentian pembahasan APBN-P, hingga pengerahan massa.

Motif kedua dari kisruh KPK-Polri lebih terang di mata rakyat. Bahwa upaya melemahkan KPK dilakukan secara sistematis yang menjadi tujuan. Sudah berbagai cara politisi Senayan untuk menjalankan misi pelemahan pemberantasan korupsi, baik lewat jalur prosedural maupun legislasi, baru kali support penuh parlemen kepada Polri dilakukan. Lihat saja bagaimana ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin langsung menyambangi dan memberi dukungan kepada Budi Gunawan di hari pertama ditetapkannya sebagai tersangka oleh KPK. Lihat juga bagimana pimpinan oposisi lain yang biasanya lantang mengatasnamakan rakyat. Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan lain-lain tak lagi perduli dengan suara rakyat. Partai pengusung pemerintah pimpinan PDIP dan Megawati Soekarnoputri pun bicara soal ‘petugas partai’ ketimbang ‘pembela aspirasi rakyat’.

Komisi III, memang telah lama menaruh dendam politik kepada KPK yang paling anyar sebelum kriminalisasi Komisioner KPK adalah isu revisi UU KUHP dan UU MD3. Politisi korup merasa tak nyaman dengan gencarnya penangkapan kolega mereka. Baru kali ini, KPK berani menangkap tiga ketua Partai: Anas Urbaningrum, Lutfi Hasan Ishak dan Suryadharma, tiga menteri era SBY: Andi Mallarangeng, Jero Wacik dan Suryadharma Ali, tiga petinggi Polri: Susno Duaji, Djoko Susilo dan Budi Gunawan, pucuk pimpinan lembaga negara: Akil Mochtar, Hadi Poernomo hingga Rudi Rubiandini, serta tak terhitung politisi senayan.

Sulit dimengerti bahwa kisruh KPK-Polri adalah soal Budi Gunawan. Kisruh ini lebih layak dipandang sebagai bagaimana cara politisi mengkanalkan kepentingan kelompok mereka. Tak lagi bicara benar-salah, yang ada hanya menang-kalah. Pasca pemilihan umum DPR memang tak lagi mewakili rakyat. Setelah suara dimenangkan, yang tersisa adalah ego kelompok memaksimalkan kepentingannya masing-masing.

Lihat saja polah tingkahnya: kisruh perebutan pimpinan DPR, MPR dan alat kelengkapan Dewan, lalu perdebatan soal pilkada langsung, dan kini yang paling nyata ramai-ramai mendorong tersangka gratifikasi dan dugaan kepemilikan rekening gendut Komjen Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri. Ada apa dengan wakil rakyat? Saat suara rakyat bulat untuk mendukung KPK dan pemberantasan korupsi, para anggota dewan justru membungkamnya.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun