Mohon tunggu...
HL Sugiarto
HL Sugiarto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk dibaca dan membaca untuk menulis

Hanya orang biasa yang ingin menulis dan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Renungan Bila Gas Melon Harganya Naik

23 Januari 2020   13:33 Diperbarui: 27 Januari 2020   04:05 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali teringat pada tahun 2007-an ketika diluncurkannya LPG 3 kg dan diperkenalkan kepada publik. Saat itu pemerintah dalam hal ini Wapres Jusuf Kalla yang paling getol untuk mensosialisasikan penggunaan LPG 3 kg atau gas melon kepada masyarakat luas. 

Awal-awal munculnya Gas melon  sebagai pengganti minyak tanah dalam urusan dapur ataupun UMKM ternyata banyak menimbulkan korban jiwa, luka dan rumah hancur. Hal ini disebabkan belum terbiasanya masyarakat Indonesia dalam menggunakan kompor gas. 

Peralihan penggunaan kompor minyak tanah ke kompor gas yang notabene bahan bakarnya adalah gas yang membawa banyak korban, membuat saya merenung kembali mengenai kebijakan pemerintah yang akan menghilangkan subsidi gas melon di tahun 2020. 

Apakah nanti akan membawa korban lagi, tapi yang pasti bukan korban yang sebagaimana terjadi di tahun 2007-an.

Beban masyarakat Indonesia semakin berat

Di awal tahun 2020 penduduk Indonesia sudah diberikan 'kado' berupa kenaikan beberapa sektor barang dan jasa, mulai dari iuran BPJS, cukai rokok, tarif tol. Ternyata pemerintah juga akan memberikan 'kado' lagi dengan adanya pencabutan subsidi harga gas melon. 

Harga gas melon saat ini berada dikisaran harga jualnya saat ini berada antara Rp 17.000-Rp. 22.000 nantinya akan naik menjadi sekitar Rp 35.000-an. 

Dengan adanya kenaikan ini pastilah akan menambah beban lagi yang harus ditanggung oleh penduduk Indonesia, belum lagi laju inflasi yang tiap tahun pasti ada, membuat nilai uang yang berada di dompet ini menjadi mulai berkurang nilainya.

Tak akan ada lagi jajanan gorengan dan nasi pecel murah

Rokok eceran atau centengan kini tidak ada lagi yang seharga Rp 1000,- per batang. Rata-rata sudah menyentuh harga Rp 2000,- perbatang sehingga untuk merokok pun harus merogoh kocek lebih dalam atau berganti ke rokok murahan yang tentunya rasanya tidak terlalu nyaman bagi para perokok, yang penting mulut berasap. 

Tapi bagaimanapun untuk masalah rokok ini, konsumen masih bisa mengakalinya dengan cara mengurangi kebiasaan merokok. Jujur saja, saya sebagai perokok, saat ini mulai mengurangi kebiasaan merokok, mengingat harga rokok sudah mahal.

Setelah harga cukai rokok naik, kini  terpikirkan berapa harga jajanan gorengan yang ada dijual di pinggir jalan? Harga jajanan gorengan pinggiran jalan  untuk wilayah Jawa Timur berada dikisaran harga Rp 750,- sampai Rp 1000,-. 

Tak terbayang ketika harga gas melon naik menjadi Rp 35.000,- akankah ada lagi jajanan gorengan pinggir jalan yang terjangkau? Pastilah para penikmat jajanan ini akan menjerit, termasuk juga para penjajanya karena peminatnya akan berkurang atau minimal omzet dan pendapatannya berkurang. 

Selain gorengan, harga makanan kaki lima pasti akan naik. Nasi pecel (tanpa lauk telur atau yang lainnya) atau nasi sambal penyet telur yang di daerah sekitar  Surabaya-Gresik-Lamongan yang berkisar antara Rp 8.000,- sampai Rp 10.000,- pasti akan naik. 

Padahal menu sederhana ini biasanya menjadi andalan para salesman, driver ojol, mahasiswa, pelajar, kuli, pengangguran dan bahkan pegawai kantoran.  Tak terbayangkan kala harga gas melon naik, berapa uang yang akan dikeluarkan untuk menebus makanan itu.

Kami mengerti beban pemerintah berat

Dengan adanya beban utang negara untuk membangun infratstruktur dan lainnya, saya dan beberapa gelintir warga negara  Indonesia memahami kondisi dan posisi pemerintah Republik Indonesia saat ini. 

Beban yang berada di pemerintahan pusat saat ini cukup berat apalagi adanya rencana pemindahan ibu kota negara yang konon pemerintah "hanya" mengeluarkan dana dari APBN sebesar Rp 100 triliun, maka secara langsung atau tidak langsung juga akan 'mentransfer' beban itu kepada masyarakatnya.

Saya secara pribadi tidak keberatan apabila beban di pundak ini semakin bertambah tetapi perlu diberikan catatan bahwa untuk mengangkat beban berat tersebut perlu diberikan 'suntikan' berupa suplemen. 

Entah itu berupa kebijakan yang  bisa memberikan kemudahan untuk bekerja, berusaha, bersekolah, mendapatkan jaminan kesehatan dan lain sebagainya. 

Akan tetapi  beberapa kebijakan untuk menambah 'tenaga' itu sudah diberikan, walaupun begitu kelihatannya masih belum terasa secara signifikan. 

Ah! Terlalu berat bagi saya untuk memikirkan masalah negara, lebih baik memikirkan diri sendiri dulu. Biar urusan negara diurus oleh para pejabat dan wakil rakyat. 

Bagaimana mungkin saya bisa memikirkan masalah negara sedangkan saat ini saya juga sedang lagi  dalam kondisi menata diri untuk menggapai cita-cita. 

Semoga saya nantinya jadi mapan dan bisa membantu  bisa ikut andil meringankan beban kehidupan bagi orang-orang yang ada di sekitar saya. Amin! (hpx)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun