Gambar oleh engin akyurt dari Pixabay
Aku, Saipul, teringat akan temanku semasa di SD Katolik St. Yudit, Simon, namanya, anak dari seorang ustadz terpandang di kampungku. Anaknya cukup saleh, juara ngaji untuk wilayah se-kabupaten, tapi sayang kalau ngomong kadang suka-suka teriak, apalagi seringkali ia iseng-iseng menyorongkan mulutnya dari belakang dan meneriakkan nama temannya untuk sekedar menyapa dan mengagetkan orang yang disapanya.
Kala itu, setiap hari saat berangkat sekolah, aku selalu menjemput temanku ini si Simon di rumahnya yang terletak dalam perkampungan berdekatan dengan sebuah Masjid Jami. Ia selalu aku bonceng menggunakan sepeda jengki merk Phoenix, sepeda angin yang umum dimiliki banyak orang pada jamannya. Dan seperti biasa kalau aku bonceng, Simon selalu berceloteh dan bercerita panjang lebar dan sering kali ia berteriak dekat telingaku.
"Pul... Saipul, kalau ngayuh yang kuat dong! Biar laju ini... sepedanya," teriak Simon didekat telingaku, seperti biasanya.
"Iya... Mon..Ini kan lagi tanjakan, lu aja dah yang bonceng," aku menoleh kebelakang sambil membalas teriakannya.
Aku sudah sebal dengan kebiasaannya ini, selalu berteriak didekat telingaku kala aku bonceng. Sakit dan kaget rasanya ketika ia berteriak dekat telingaku. Ingin rasanya kusumpal mulutnya, tapi aku teringat akan pesan bapak wali kelasku, Pak Agus yang selalu mengajarkan agar jangan mudah emosi ketika menghadapi permasalahan. Ia selalu mengingatkan murid-muridnya, akan ada waktunya yang tepat untuk melampiaskan emosi kita dengan elegan,tak langsung menohok tapi mengena dengan baik.
Simon yang saat itu masih saja ngomong panjang lebar dan setengah berteriak di sepanjang perjalanan ke sekolah. Bosan rasanya,ingin sepeda ini aku lepas biar jatuh bersama. Tiba-tiba aku melihat sebuah gundukan polisi tidur yang biasa kami lewati, ku genjot kayuh sepedaku, ku percepat lajunya. Tiba-tiba Simon berteriak nyaring memperingatkan aku tapi ya begitulah... seperti biasa berteriak di dekat telingaku.
"Pul... awas ada polisi tidur, matamu...matamu Pul...." teriaknya sambil setengah mengeluarkan sumpah serapah.
Tak kupedulikan teriakannya ku terabas itu polisi tidur.
Gluuudaakkkk! Suara body sepeda bergetar karena ban yang berbenturan keras dengan polisi tidur. Bersamaan itu aku merasakan Simon terjatuh dari boncengan sepeda, segera aku menggenggam erat rem sepeda dan segera menghentikan laju sepedaku. Aku pun menoleh melihat Simon jatuh terduduk sambil meringis mengelus-elus bokongnya.
"Dobol... matamu Pul, nggak lihat itu Polisi tidur?"