[caption caption="Sumber foto: www.tidysflower.com"]
[/caption]
Filosofi Gaya Hidup Minimalis
Dalam konteks hidup minimalis, hadiah paling istimewa yang bisa kita berikan kepada orang yang kita cintai adalah waktu. Ketika kita meluangkan waktu untuk orang-orang yang kita cintai, maka di saat itulah sejatinya kita merasa peduli dengan mereka. Pada kenyataannya, tidak ada orang yang benar-benar terlalu sibuk dalam hidup ini, yang ada hanyalah soal kepedulian. Jika kita peduli pada seseorang, sesibuk apapun kita, kita pasti akan tetap berusaha menyempatkan waktu untuk mereka.
Itulah mengapa, ketika kita membicarakan waktu, yang erat kaitannya dengan masalah kesibukan, kita akan selalu dihadapkan pada persoalan klasik, yakni prioritas. Banyak orang yang sibuk bekerja sampai waktu berkumpul dengan keluarga menjadi sangat minim, bahkan saking sibuknya, banyak orang yang mengalami keterasingan dalam hidupnya. Mereka berangkat berkerja bahkan sebelum matahari menampakan sinarnya, dan baru bisa pulang saat matahari sudah pulang keperaduannya.
The Family Man, Tipe Kejantanan Seorang Pria
Jika diklasifikasi, pada dasarnya setiap pria punya tipe kejantanannya sendiri-sendiri. Tipe kejantanan ini bisa jadi diklasifikasikan menurut kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam pribadi setiap pria. Dari beberapa klasifikasi, ada salah satu tipe kejantanan yang bernama The Family Man. Entah definisi apa yang tepat untuk menggambarkan tipe kejantanan yang satu ini. Tapi, menurut definisi saya, family man adalah seorang pria yang memprioritaskan keluarganya diatas segala-galanya.
Family man adalah salah satu tipe kejantanan pria yang cukup unik dengan kepribadian hangat, bahkan seorang family man rela bekerja dari rumah atau bekerja tidak jauh dari rumahnya agar ia tetap bisa meluangkan waktu untuk berbagi kebahagiaan bersama keluarganya. Mungkin bagi Anda yang sudah pernah menonton film The Godfather pasti sudah sering mendengar kutipan ini, "A man who doesn't spend time with his family can never be a real man." — Don Vito Corleone
Menjadi Full Time Blogger
Saat sekolah dulu, saya mungkin punya definisi yang agak berbeda dari kebanyakan teman saya, soal kesuksesan. Kebanyakan teman-teman saya dulu, mendambakan pekerjaan yang mentereng dengan gaji dan penampilan yang menawan. Setidaknya begitulah, teman-teman saya mendefinsikan kesuksesan lewat sudut pandangnya. Sedangkan saya, memilih mendefinisikan kesuksesan secara lebih sederhana, misalnya bisa bekerja dekat rumah agar tetap bisa berkumpul dengan keluarga.
Dan benar saja! Sekarang saya sedang menjalani hidup minimalis dan menjadi seorang full time blogger. Sebuah pekerjaan yang mungkin, tidak lumrah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tapi, ini adalah pilihan yang saya ambil, agar bisa bekerja dari rumah sehingga tidak kehilangan momen-momen penting dalam keluarga. Pada dasarnya, kita semua membuat pilihan dalam hidup. Tapi bagian tersulitnya adalah, bertahan dan hidup bersama pilihan yang telah kita ambil tersebut.
Peran Penting Seorang Ayah
Beberapa bulan yang lalu, keponakan perempuan saya jadi agak gusar, lantaran melihat anak-anak sebayanya sudah bisa naik sepeda tanpa harus menggunakan roda penopang di kanan dan kiri ban sepeda belakangnya. Nah, melihat teman-temannya yang sudah bisa naik sepeda secara sempurna itu, melecutkan kembali semangatnya untuk belajar naik sepeda. Sayangnya, ayahnya, yakni kakak ipar saya, yang berprofesi sebagai aparat penegak hukum di Polres kota tempat saya tinggal, sangat sibuk.
Alhasil, sayalah yang didapuk untuk mengajari naik sepeda keponakan perempuan saya yang baru berusia tujuh tahun ini, dengan dalih sayalah satu-satunya orang yang punya waktu agak longgar di rumah. Ayah dan ibunya yang sibuk bekerja dan tidak bisa mendampingi anaknya belajar sepeda, entah mengapa di suatu sore, pulang dari kantor agak terlambat dari biasanya. Tapi sejurus kemudian, kakak ipar saya ini, datang dengan tergopoh-gopoh sembari membawa sebuah bingkisan besar.
Hadiah Untuk Menebus Kesalahan
Rupanya, kakak saya membelikan dan menghadiahkan Sepeda Wimcycle baru berwarna pink untuk anak gadisnya. Mungkin, alasan ia membelikan sepeda baru adalah, untuk menebus kesalahannya, yang belum bisa meluangkan waktu untuk mengajari anak perempuannya naik sepeda. Dan dengan sepeda baru tersebut, hampir setiap hari, saya mengajari keponakan saya ini belajar sepeda. Tentunya, roda penopangnya sudah saya preteli terlebih dahulu saat pertama kali sepeda baru itu tiba di rumah.
Secara tidak langsung, saya seperti sedang belajar berperan menjadi sosok seorang ayah. Hari terus berganti, keponakan saya lambat laun mulai bisa mengendalikan sepeda barunya. Meskipun harus diakui, kayuhannya masih lemah, belum penuh satu putaran dan masih setengah-setengah, lantaran kakinya yang memang belum sampai untuk menjejak ke tanah secara langsung. Tapi, saya tidak lagi harus memegangi saddle bagian belakang sepedanya, kini tugas saya sudah agak mendingan.