Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, yang mempersatukan ragam suku bangsa Indonesia yang terdiri dari sekitar 1.340 suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai bahasa nasional yang dimuat dalam asas hukum Pasal 36 UUD Tahun 1945, hal tersebut merupakan sebagai bentuk penegasan bahwa Bahasa Indonesia adalah bagian dari jati diri bangsa.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 25 ayat (1) ditentukan "Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari Bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa". Artinya, Bahasa Indonesia adalah perwujudan dari cita-cita mulia para pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Semangat perjuangan para pemuda tidak hanya dilihat dari tindakan dan perbuatan yang nyata, tetapi juga turut mereka dengungkan kepada ilahi yang diikrarkan dalam sumpah sebagai bentuk komitmen dalam perlawanan terhadap penjajahan di Negara Indonesia. Konsistensi para pemuda yang tercatat dalam sejarah sumpah pemuda, menjadi simbol perlawanan para pemuda yang bercita-cita tentang kebebasan dan kemerdekan. Sumpah yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober menjadi hari nasional yaitu hari sumpah pemuda. Salah satunya, yang dimuat dalam janji sumpah pemuda tersebut adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda dapat diidentifikasi sebagai bentuk peran, tanggung jawab, dan tugas para Pemuda era penjajahan untuk menumbuhkembangkan aspek etik dan moralitas dalam bertindak pada dimensi kehidupan bernegara, dengan tujuan memperkuat wawasan kebangsaan, membangkitkan kesadaran atas tanggung jawab, hak, dan kewajiban sebagai warga negara, dan untuk membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan dan penegakan hukum, serta ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan konstitusi, demokrasi, dan tegaknya hukum.
Indonesia telah merdeka sejak 79 tahun lalu yang diperingati pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Kemudian Indonesia setelah merdeka, memilih dalam sistem penyelenggaraan pemerintahannya, sebagai negara hukum "rechts staat" yang dikembangkan oleh Frederick Julius Stahl atau "the rule of law" yang dipopulerkan oleh A. V Dicey, kedua konsep negara hukum tersebut menghendaki agar setiap tindakan penguasa harus menurut dan didasarkan atas hukum, tidak didasarkan atas kemauan penguasa belaka.
Konsep tersebut diadopsi dan dimuat dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, yang berarti hukum memegang kedudukan tertinggi dalam penyelenggaraan suatu negara hukum dan dapat dimaknai juga bahwa sesungguhnya hukumlah yang memerintah bukan manusia. Itu artinya dalam konsep negara hukum, hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum, berpuncak pada konstitusi.
Dalam teori norma atau teori supremasi konstitusi, UUD Tahun 1945 adalah bentuk norma hukum tertinggi di Indonesia, dan sebagai konsekuensinya semua institusi negara, Lembaga DPR dan seluruh jajarannya, instansi swasta dan seluruh warga negara, serta setiap orang yang tinggal dan berkedudukan di wilayah hukum Indonesia---terikat dan tunduk pada norma atau asas hukum UUD Tahun 1945.
Bahwa dalam hal khususnya pemuatan Bahasa Indonesia dalam UUD Tahun 1945 sebagai dasar negara adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan para pemuda, sekaligus menjadi dasar kemerdekaan bangsa Indonesia berdiri dan terbebas dari penjajahan negara asing dalam bentuk apapun. Hal itulah, yang mempedomani bahasa Indonesia disebut dalam Peraturan Perundang-Undangan sebagai jati diri bangsa, yang kemudian menjadi hukum dan memerintahkan seluruh elemen Masyarakat Indonesia, baik instansi negara/pemerintah atau swasta harus ikut serta dalam meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Internasional.
Namun kenyataannya, bahasa asing seolah justru lebih didewakan di negara ini. Mengapa tidak? Sebagai contoh, dalam beberapa hal untuk dapat bekerja atau memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang layak sesuai standar kesejahteraan di Negara Indonesia, baik dalam instansi negara/pemerintah atau swasta, warga negara Indonesia disyaratkan harus terlebih dahulu menguasai bahasa asing seperti bahasa Inggris, bahasa Mandarin dan lain sebagainya. Demikian, baru kita bisa bekerja di negara Indonesia dengan pendapatan yang layak dan sejahterah. Tentu tanpa penguasaan bahasa asing kita dapat bekerja, akan tetapi kita bekerja hanya sebagai anggota bawahan semata.
Berbeda di beberapa negara seperti Jerman, Rusia, Turki, Romanian, Jepang, Korea, China, Brunei Darussalam dan lain sebagainya, adalah tidak menempatkan bahasa asing sebagai sesuatu kewajiban ataupun keharusan yang wajib dikuasai oleh setiap warga negaranya agar dapat bekerja dan memperoleh pekerjaan dengan upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dengan standar sejahtera pada masing-masing negara tersebut. Itu artinya, mereka sebagai bangsa yang merdeka, lebih menjunjung tinggi bahasa bangsa mereka sendiri, dibandingkan bahasa asing.
Mirisnya di negara kita, dewasa ini khususnya di daerah DKI Jakarta selain soal mendapatkan pekerjaan yang layak. Jika kita melihat dalam berbagai penjuru kota, kita akan mendapati bahwa sangat banyak sekali seperti penamaan bangunan, reklame, kain rentang, dan papan-papan penunjuk publik yang justru digunakan dalam berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Hal serupa juga dalam berbagai platform-platform Media Sosial dan media cetak serta hal lainnya. Padal hal, dalam Peraturan Perundang-Undangan hal tersebut sudah ditentukan dan diatur bahwa dalam berbagai penggunaan informasi publik wajib menggunakan Bahasa Indonesia.