Tulisan ini bermula dari rasa ingin menanggapi isi sebagian buku yang berjudul Matinya Kepakaran (Perlawanan terhadap pengetahuan yang telah mapan dan mudaratnya)_Tom Nichols. Buku yang ditulis  untuk menceritakan para kaum intelektual di Amerika Serikat yang mulai condong ke arah pragmatis.  Dalam kata pengantarnya menyebutkan bahwa "kini Amerika Serikat menjadi negara yang terobsesi memuja ketidaktahuannya sendiri".
Terlepas benar dan salah pernyataan tersebut, saya tidak membahas fakta yang sebenarnya terjadi di sana. Akan tetapi penulis ingin menjelaskan relevansi isi buku tersebut dengan Indonesia saat ini_khusus dalam perguruan Pendidikan Tinggi.
Benar saja, orang yang lulus perguruan tinggi, kerap kali menganggap bahwa dirinya mengetahui segalanya. Orang tidak lagi hanya berpacu pada jurusannya, tapi semua bidang merasa dia kuasai. Yang terjadi, ketika lulus perguruan tinggi; seringkali kita merasa pintar namun sesungguhnya kita tidak mengetahui apa-apa.
Kita bicara apa saja yang sedang trend dan hangat (viral) dalam pemberitaan. Sayangnya pemikiran kita itu, selalu tak mengakar dan menyentuh titik persoalan yang terjadi.
Kritikan yang kita lontarkan, terlebih lagi terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Bukan soal kritik yang tajam dan pedas, tapi lebih dari hanya sekedar cuap-cuap tak berdasar. Kritik tersebut disuarakan sering kali tak mempunyai basis argument yang kuat, tapi semata-mata hanya tujuan untuk mencari perhatian dan sensasi semata.
Sikap dan perilaku demikian, tidak lepas dari kegagalan pendidikan tinggi dalam membentuk daya kritis setiap mahasiswa. Pendidikan tinggi dinilai tak mampu menjadikan tiap mahasiswa menjadi agen of change (agen perubahan).
Indonesia adalah negara dengan pendidikan tinggi terbanyak di ASEAN. Memiliki jumlah di seluruh wilayah NKRI mencapai 3000 lebih Pendidikan Tinggi_Republika.co.id. Jika berkaca pada data tersebut, patut diacungkan jempol. Dengan jumlah yang fantastik, sekilas terlihat bahwa Indonesia melek akan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan umum menunjukkan pada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengedepankan pengetahuan.
Namun pada faktanya, jumlah tersebut tak mampu mempertahankan pandangan umum tersebut. Dalam riset sistem pendidikan tinggi terbaik di dunia tahun 2020 lalu. Indonesia menempati peringkat ke-70 dari total 93 negara yang diurutkan. Fakta tersebut tentu sangat menohok dan tamparan bagi pendidikan tinggi di negeri yang sangat ngeri ini, juga sekaligus menunjukkan pada Indonesia bahwa jumlah bukanlah hal yang terpenting melainkan kualitas pendidikan itu sendiri.
Saat ini, pendidikan tinggi di berbagai wilayah Indonesia. Tidak sedikit yang menjadikannya sebagai lahan bisnis dan menjadikan para mahasiswa  hanya sekedar memperoleh gelar semata. Tuduhan kejam tersebut tidak semata-mata tidak berdasar. Pengamatan dan pengalaman saya dalam semasa duduk di bangku pendidikan tinggi, ada banyak hal yang tidak sepatutnya dan layak hal tersebut ada dalam ruang lingkup perguruan tinggi.
Dalam buku tulisan Tom Nichols mahasiswa identik sebagai pelanggan atau istilah lainnya sebagai klien. Hal ini dapat kita lihat, banyaknya yang mengakses pendidikan tinggi. Jumlah yang besar tersebut bukan semata-mata karena kesadaran akan ilmu pengetahuan. Akan tetapi sebagai bentuk kegagalan perguruan tinggi dalam memahami makna dan fungsinya. Perguruan tinggi gagal dalam memisahkan mana kaum intelektual dan mana yang hanya sekedar buang suntuk saja ke kampus.
Meningkatnya akses pendidikan tinggi yang tanpa batas, seakan pendidikan tinggi hanya tempat pelarian saja. Perguruan tinggi di akses bebas dari semua kalangan, khususnya pendidikan tinggi swasta.