Mohon tunggu...
Hans Roga
Hans Roga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa fakultas filsafat

PENCINTA MUSIK

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Otopoiesis dan Pendidikan: Sebuah Ilusi Kebijakan

11 April 2023   19:11 Diperbarui: 11 April 2023   19:26 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Yohanes Roga

Perihal usaha mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas dan tanggung jawab penting dari sebuah negara khususnya di Indonesia. Hal ini dipertegas dalam UUD 1945 alinea ke-IV yang mengatakan bahwa"pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dalam usaha mencerdaskah kehidupan bangsa, pemerintah menetapkan suatu kebijakan dengan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang disepakati demi mencapai tujuan yang diiginkan. Pengambilan kebijakan oleh pihak pemerintah tentunya didasarkan pada kesepakatan bersama (konsensus) dan tidak berdasarkan keputusan individu atau pribadi atau pemimpin negara sendiri.

Dalam sudut pandang sosial, pendidikan merupakan sebuah struktur yang ada dalam masyarakat dengan memiliki tujuan dan nilai dalam usaha mencerdaskan para peserta didik. Pendidikan dikatakan sebagai sebuah struktur karena adanya komitmen, konsesnsus, solidaritas, kerja sama yang dibangun denagan aturan-aturan yang ditetapakn sehingga terbentuk sebuah lembaga atau institusi. Jadi, posisi pendidikan itu di lihat sebagai sebuah sistem sosial yang berdiri sendiri dan bersifat mandiri.

Tulisan kecil ini sebagai bentuk tanggapan kritis atas pernyataan Viktor Laiskodat selaku Gubernur NTT yang menyatakan bahwa iswa/i SMA dan SMK di Kupang, wajib masuk pukul 05.00 dengan alasan untuk melatih karakter siswa.


Menakar Kualitas Pendidikan


Pendidikan merupakan urusan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, kehidupan seseorang tidak bisa berkembang secara wajar. Oleh karena itu, pendidikan menjadi tolak ukur dalam menilai kredibilitas seseorang dan peradabannya. 

Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi kredibilitasnya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin dipertanyaakan tingkat kredibilitas kemanusiaannya.

Berbicara mengenai pendidikan telah menjadi polemik diberbagai negara khususnya di Indonesia.  Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan  sejaka lama. 

Di sini pendidikan karater menjadi tonggak utama dalam mebentuk kepribadian setiap orang. Sejatinya pendidikan karakter merupakan bagian esensial yang menjadi tugas sekolah, tetapi selama ini kurang mendapat perhatian. Akibat minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Lickona, telah menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit sosial ditengah masyarakat.

Akhir-akhir ini posisi pendidikan yang independen itu mengalami degradasi akibat adanya pengambilan kebijakan-kebijakan oleh pihak pemerintah tanpa adanya kesepakatan bersama, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi pendidikan di tengah masyarakat. Dengan demikian penulis secara kritis hendak mengatakan bahwa kebijakan tersebut adalah sebuah otopoiesis atau ilusi kebijakan.

Pernyataan di atas dapat di lihat sebagai satu bentuk kekerasan terhadap peserta didik karena di dalamya mengandung unsur pemaksaan. Tujuan dari kebijakan yang ditetapkan boleh dikatakan bagus, tetapi yang perlu ditingkatkan bukan penggunaan waktunya melaikan kualitas tenaga pengajar, fasilitas sekolah yang memadai dan juga usaha pembangunan karakter dari para peserta didik. 

Usaha dalam mencerdasakan para peserta didik, pemerintah harus mampu membaca stiuasi sosial yang terjadi di masyarakat terutama penigkatan SDM anak-anak NTT. Permasalahan pendidikan khususnya di NTT yang tidak mengalami kemajuan bukan terletak pada persoalan waktunya, tetapi bagaimana pihak pemerintah secara pandai dan cerdas melihat kekurangan-kekurangan yang ada dalam sebuah lembaga pendidikan.


Otopoiesis: Ilusi Kebijakan


Perihal kebijakan yang ditetapkan oleh pihak pemerintah selalu lahir atas dasar kesepakatan bersama. Dalam kacamata politik, kekuasaan selalu berkaitan erat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah demi suatu tujuan tertentu yakni kesejahteraan masyarakat. 

Di sisi lain, dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya dalam dunia pendidikan seperti yang tercantum dalam UUD 1945 alinea ke-IV adalah bentuk sebuah konsensus. Akan tetapi, jika sebuah kebijakan itu lahir atas putusan pribadi dan bukan atas dasar konsesnsus, maka kebijakan tersebut bisa dikatakan sebagai otopoiesis atau ilusi dari kebijakan. 

Jadi dalam pengambilan keputusan bisa di lihat bahwa peran kekuasaan lebih dominan. Peran kekuasaan ini seperti yang dikatakan oleh Mochel Foucault bukan sebagai institusi atau struktur tetapi sebagai situasi strategis yang kompleks. Maka secara jelas bawha kebijakan yang di tetapkan itu hanyalah sebuah otopoiesis belaka yang di bangun atas dasar kepentingan pribadi.

Autopoiesis adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Niklas Luhmann dalam bukunya yang berjudul Social System. Secara leksiksikal, autopoietic atau autopoiesis berarti penciptaan diri sendiri. Kata ini berasal dari Yunani auto yang berarti diri, serta poiesis penciptaan; produksi.

Berakar pada istilah otopoiesis di atas hendak menegaskan bahwa pengambilan kebijakan atas dasar otoritas tesebut adalah sebuah ilusi kebijakan yang bukan lahir atas dasar kesepakatan bersama, melainkan atas inisiatif sendiri yang kemudian diterapkan dan diberlakukan dalam lembaga pendidikan. Persoalan belajar itu bukan soal jam berapa sudah muali sekolah, tetapi soal kesediaan mental dan batin untuk mulai belajar. 

Nadiem Makarim menerapkan kebijakan merdeka belajar yang berarti anak bebas untuk memilih belajar apa saja, akan tetapi kebijakan tersebut dibatasi oleh pihak pemerintah dengan memaksa siswa wajib masuk sekolah pukul 05.30.

Di lihat dari kebijakan yang ada unsur kepentingan menjadi dasar utama. Yang menjadi masalah adalah apa motiv dari pengambilan kebijakan tersebut? Jika kebijakan itu adalah hasil kreasi atau ciptaan sepihak, maka dapat dipahami bahwa kebijakan itu adalah hasil orgasme pribadi sehingga masuk dalam perangkap naluri ingat diri seperti yang dikatakan oleh Albert O. Hirschman dalam The Passion and The Interest (1997). Karena posisi pengambilan kebijakan itu lahir atas kepentingan diri (sel-interest), maka kebijakan itu tetaplah sebuah otopoiesis.

Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa kebijakan yang ditetapakan itu adalah sebuah otopoiesis-ilusi kebijakan. Oleh karena itu, tulisan ini tidak menjadi kesimpulan akhir, tetapi masih membuka ruang bagi para kaum intelektual untuk di diskusikan secara bersama

**Anggota UKM Menulis Unwira

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun