Kemungkinan-kemungkinan tersebut berwujud hak milik dan Max Weber sangat tertarik oleh hak-hak perseorangan tersebut karena pertama-tama, dia berusaha untuk menggambarkan terjadinya proses rasionalisasi hukum modern dan kedua untuk membuktikan kekhususan dari peradaban Barat. Sedangkan hukum subjektif mencakup aspek yang fundamental dari peradaban Barat, karena peranannya yang menentukan di dalam transaksi-transaksi perseorangan yang memegang saham dalam perkembangan kapitalisme modern.Â
Hak-hak tersebut di satu pihak mencakup hak-hak atas kebebasan dalam arti aturan-aturan yang menjamin keamanan individu terhadap intervensi pihak lain, termasuk negara. Di lain pihak, hak tadi juga mencakup aturan-aturan yang mengatur kebebasan berhubungan dengan pihak lain dengan membuat kontrak-kontrak hukum. Lebih lanjut, menurut Max Weber semua sosiologi hukum dieduksikan menjadi kemungkinan-kemungkinan atau "kesempatan-kesempatan" dari kelakuan sosial, menurut suatu sistem yang koheren dari aturan-aturan yang diselenggarakan oleh ahli hukum bagi suatu tipe masyarakat tertentu.
Sehingga berangkat dari penjelasan secara keseluruhan diatas, maka dapat ditarik sebuah konklusi bahwasanya maraknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia baik itu HAM Berat maupun Ringan, pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya kepentingan-kepentingan personal maupun golongan untuk mencapai suatu keinginan yang diinginkan. Yang mana, wujud pencapaian keinginan tersebut dilakukan melalui tindakan-tindakan represif yang pada akhirnya merujuk pada tindakan pelanggaran HAM. Belum lagi ditambah dengan adanya penegakan hukum yang diskrimatif, tindakan anarkis masyarakat dengan masyarakat, serta tindakan buruk kemanusiaan lainnya.Â
Hal tersebut pun didukung oleh adanya kajian teoritik terkait masalah sosiologi hukum dalam masyarakat oleh Max Weber yang secara garis besarnya membahas terkait penerapan hukum yang dilakukan terhadap masyarakat yang menuai penyimpangan serta penggunaan alat kekuasaan sebagai tolak ukur mewujudkan kepentingan diatas penderitaan rakyat. Untuk itulah, demi mencegah dan mengatasi tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang di Indonesia, sangatlah diperlukan upaya penaggulan yang aktif dan masif.Â
Dimana upaya tersebut dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini sebagai fasilitator dengan melakukan upaya-upaya preventif dan responsive terkait dengan penegakan hukum dan HAM di Indonesia, pemangkasan birokrasi yang dalam hal ini sebagai wadah munculnya oknum-oknum abuse of power, serta melakukan upaya controlling dan pengawasan terhadap praktik penegakan hukum dan HAM. Selain upaya pemerintah, pun juga diperlukan peran aktif masyarakat sebagai control sosial untuk membantu memberikan kesadaran terhadap sesame terkait dengan pentingnya menghormati, melindungi, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia antar sesama.Â
Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Max Weber diatas bahwasanya "semua sosiologi hukum dieduksikan menjadi kemungkinan-kemungkinan atau "kesempatan-kesempatan" dari kelakuan sosial, menurut suatu sistem yang koheren dari aturan-aturan yang diselenggarakan oleh ahli hukum bagi suatu tipe masyarakat tertentu".
Akhir kata mengutip perkataan Satjipto Rahardjo "Hukum untuk Manusia bukan Manusia untuk Hukum". Sebab, Hukum yang berkeadilan, berkemanfaatan serta berkepastian ialah hukum yang melindungi Hak Asasi Manusia bukan hukum yang mencederai Hak Asasi Manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H