Mohon tunggu...
Johanes Supriyono
Johanes Supriyono Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca

Belajar Filsafat di Driyarkara, serta menikmati hidup dua tahun di Papua, membuatku mencintai Papua dan ingin mengenalnya lebih mendalam.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Perjalanan ke Kokonao

4 Mei 2012   07:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:44 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami tiba di Kokonao siang hari, sekitar pukul 11.30. Penerbangan dari Timika hampir tidak dapat kami nikmati karena angin yang berembus kencang. Bagian belakang pesawat terasa mobat-mabit begitu meninggalkan daratan. Tiga atau empat kali pesawat twin otter kami terasa masuk ke bagian kosong dan seolah-olah hendak terempas ke bumi. Yang sedikit menenangkan adalah bahwa penerbangan ke Kokonao hanya sekitar 15 menit saja. Kami tidak akan berlama-lama tegang di ketinggian.

Selanjutnya penerbangan cukup bisa dinikmati. Mas Wied sibuk mengambil gambar. Aku sibuk mengarahkan pandang pada dua anak kembar yang bersama-sama kami. Salah seorang dari si kembar menangis. Lelaki yang kuduga adalah seorang pedagang bugis duduk di sebelahku. Aku hanya sedikit heran bahwa ia tidak membawa banyak dagangan.

Sepertinya ia sudah mengerti siapa kami. Aku bertanya padanya soal berapa lama ia sudah ada di Kokonao. Jawabannya di luar dugaanku: dua tahun lalu ia dipindahkan oleh bapak uskup untuk menjadi kepala sekolah di Kokonao kembali. Lha, ternyata yang kusangka pedagang bugis adalah seorang guru di sekolah Katolik.

Pak Guru di sebelahku menjadi pemandu perjalanan. Ia menyebut nama-nama kampung yang kebetulan terlihat dari atas. Aku tidak berhasil mengingat seluruh nama desa yang tampak dari atas. Aku pun merasa tenang.

Keadaan sedikit kembali panik ketika kota Kokonao sudah tampak dari ketinggian. Pesawat memutar sebelum mendarat. Angin di luar terasa cukup kencang. Aku mulai panik juga dan takut karena pesawat akan landing. Ekor pesawat kembali mobat-mabit oleh tiupan angin di luar. Aku juga merasa bahwa pesawat tidak cukup pelan untuk turun.

Alhamdulilah, pesawat mendarat dengan selamat. Roda-roda berdecit. Kipas mulai berputar dengan kecepatan yang dikurangi. Kami meninggalkan pesawat dengan bagasi diambil sendiri-sendiri. Orang-orang sudah siap menyambut kami di tepian landasan pesawat.

Aku tidak tahu siapa remaja-remaja yang berdiri di sekitar landasan itu. Aku sangka mereka adalah penduduk kampung yang menunggu keluarga mereka datang. Ternyata mereka dengan semangat mengangkut barang-barang yang dibawa oleh pak guru dan bapak dari anak yang kembar itu. Rupanya, mereka adalah anak-anak asrama putera yang menyambut guru mereka yang baru kembali dari kota.

Mereka juga membawakan sebagian barang rombongan kami ke pastoran. Dalam tiga menit kami sudah sampai di halaman rumah tua pastoran. Pastor Dodot sudah siap menyambut kami dengan pakaian yang cukup sederhana. Menurutku, anak-anak asrama itu begitu hormat pada guru-guru mereka.

Kami berempat disambut oleh Pater Dodot dan Oki secara sederhana di ruang makan pastoran. Hal-hal praktis disampaikan ke kami pula. Mas Wied dan aku tinggal di kamar depan pastoran. Sari dan Ibu Valentin menumpang di rumah suster.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun