Banyak manfaat yang telah kita dapatkan dari BPJS. Kalau sakit tidak perlu terlalu panik lagi soal biaya. Kita yang sudah punya kartu BPJS, tinggal datang ke rumah sakit, klinik atau tempat pengobatan yang sudah terkonek dengan program ini, pasti akan mendapatkan penanganan yang semestinya.Â
Tentang hal ini, penulis sering alami dan saksikan sendiri bagaimana antusiasme warga pemilik kartu BPJS saat berobat ke rumah sakit milik pemda. Masih pagi, ruang tunggu sudah penuh, seluruh bangku terisi. Banyak yang berdiri atau menunggu agak jauh. Tapi apa yang menarik? Ya itu, ekspresi kebanyakan pasien itu tidak seperti sakit.Â
Misalnya kaum bapak atau ibu yang sudah manula, banyak yang terlibat dalam bincang-bincang yang mengasyikkan. Bahkan ada yang jadi rutin, setiap bulan datang untuk sekadar kontrol. Dan, itu tadi, umumnya mereka tidak seperti sedang sakit. Mungkin hanya punya keluhan sedikit di badan, lalu tanpa beban pikiran soal biaya, melenggang ke rumah sakit, bertemu kenalan yang sama-sama hendak berobat. Tanpa takut mengeluarkan uang, bahkan nanti dapat obat tanpa perlu membayar lagi.Â
Maka mereka tampak ringan-ringan saja, saling bagi cerita, pengalaman, curhat, sambil menunggu dokter datang, dan menunggu nama mereka dipanggil suster. Kira-kira seperti itulah pemandangan yang penulis saksikan ketika pada suatu ketika pernah harus rutin ke rumah sakit karena suatu problem kesehatan. Setiap bulan harus kontrol ke rumah sakit itu.
Tapi yang utama, kita harus sudah membayar iuran dalam bulan berjalan. Sebab bila tidak, maka sia-sia saja kita datang. Penulis pernah sekali dua kita mengalami kendala sehingga tidak diperkenankan mengikuti tahapan-tahapan sebelum ketemu dokter. Padahal penulis sudah mengantri sejak pagi-pagi buta, supaya dapat nomor antrian "bagus". Dengan nomor kecil, kita dipanggil lebih cepat, ditangani dokter lebih awal, ambil resep, dan masih sempat berangkat kerja.
Setelah dapat nomor antrian dan menunggu lebih satu jam, petugas loket memanggil nomor. Berkas-berkas kita perlihatkan. Namun setelah dicek di data komputer, kita ditolak sebab berdasarkan data, iuran untuk bulan ini belum dibayar. Heran dan dongkol tentu saja. Kita telpon bagian keuangan kantor yang mengurusi soal iuran itu, dan memang belum disetorkan.Â
Bayangkan betapa kecewanya. Memang sih uang iuran bulanan tidak seberapa besar, cuma Rp 50 ribuan waktu itu. Namun karena kantor yang harus membayarkannya, kita tidak pernah pikir, sebab tahunya sudah beres. Namun nyatanya ketika perlu berobat, malah ditolak karena iuran belum dibayar. Dan hal ini jelas kesalahan oknum bagian keuangan di kantor.
Namun kita pun menyesalkan pihak rumah sakit yang tidak punya toleransi dalam kasus seperti ini. Mereka tahunya hanya melayani pasien atau klien yang sudah melunasi iuran. Untung saja ketika itu penyakit yang diderita tidak tergolong parah, maka sambil bergurau menyindir sambil menahan dongkol, penulis meninggalkan loket pendaftaran. Bulan depan datang lagi setelah lebih dahulu memastikan pada pihak kantor bahwa iuran sudah dilunasi.
Itu kejadian jauh sebelum pandemi. Maka penulis tidak tahu bagaimana aturan dan peraturan saat ini. Apakah masih kaku seperti itu, atau sudah ada perbaikan? Sehingga pasien yang belum melunasi iuran tidak harus ditolak untuk berobat. Soalnya ngeri membayangkan pasien yang kondisinya "berat" namun tertolak karena sistem yang kaku seperti itu?Â
Kini kelas BPJS hendak dihapus dan digantikan menjadi kelas tunggal dengan istilah "kelas rawat inap standar" (KRIS), atau KRIS JKN. Menurut hemat penulis memang sebaiknya begitu, disetarakan saja. Maka warga yang memanfaatkan fasilitas kesehatan yang disubsidi pemerintah  ini tidak terpolarisasi berdasarkan tingkatan tarif. Semua mendapatkan fasilitas yang sama dan setaraf.