Ini kejadian beberapa tahun silam, kadang masih muncul di benak, dan tidak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu pukul 20.00, jadwal keberangkatan kereta api eksekutif malam tujuan Surabaya. Saya dan istri sudah berada di Gambir satu jam sebelum jadwal.Â
Tapi kondisi saya saat itu lagi demam. Bahkan saat naik taksi dari rumah sudah tidak nyaman. Inginnya membatalkan rencana pulkam itu, tetapi keponakan di tempat tujuan sudah tidak sabar menunggu kami. Ketika itu memang ada hari kejepit, jadi ada 4-5 hari yang bisa dijadikan untuk libur.Â
Dua minggu sebelumnya saya sudah beli tiket di loket langsung. Satu untuk saya, dan satu untuk istri. Sudah jelas tanggalnya pasti sama, dan tempat duduk pun sama. Setiba di rumah, tiket itu saya serahkan ke istri untuk disimpan, sebab masih dua minggu lagi. Istri saya pun termasuk type orang yang teliti, so pasti diperiksa dulu tiket itu sebelum disimpan.
Dua hari sebelum jalan, kondisi saya mulai tidak karuan. Ini gejala demam yang biasanya berlangsung seminggu. Tapi karena dua hari lagi mau luar kota, naik kereta api semalaman, situasi ini jelas sangat mengganggu pikiran, menyebalkan dan mengkhawatirkan.Â
Istri merebus jahe dan saya minum berulang-ulang, dengan harapan demam bisa terusir. Minuman jahe itu dimasukkan ke termos mini untuk bekal di kereta nanti. Pukul 18.30 kami sudah ditaksi menuju Gambir, dan tiba pukul 19.15. Kondisi masih menggigil waktu di stasiun. Udara malam menambah penderitaan.
Oh ya, jadwal berangkat tanggal 14, dan itu pastinya tercantum jelas di tiket. Wong saya yang urus sendiri kok. Istri saya malah sudah melihat dan memeriksa waktu itu. Maka pada tanggal tersebut kami sudah berada di stasiun. Ketika pengumuman agar calon penumpang bersiap-siap, sebab kereta eksekutif akan masuk, kami sudah berada di peron.Â
Dan kondisi saya tidak berubah, masih demam, dan sejujurnya saya ingin batal, dan pulang saja, ingin tidur istirahat di rumah. Membayangkan bagaimana dinginnya AC di gerbong kereta eksekutif, hati saya semakin ciut. Tapi karena tidak ingin mengecewakan adik dan anak-anaknya yang sudah menunggu, dan saya pun kangen dengan para ponakan itu, maka saya tahan-tahan saja.
Setelah berada di gerbong sesuai tiket, sudah ada seorang pemuda yang duduk di bangku 10 A, itu nomor bangku saya di tiket. Istri saya di 10 B. Dan terjadilah perdebatan saya dengan pemuda itu, sebab itu bangku saya sesuai yang tertera di tiket saya. Dia ngotot dan menunjukkan tiketnya. Saya juga tunjukkan tiket saya.
Seorang petugas polsuska datang menengahi, dan memeriksa tiket kami masing-masing. Dan dia memperlihatkan bahwa saya yang salah, sebab di tiket saya itu, tanggal berangkat bukan hari itu, tetapi besok, tanggal 15. Setelah saya baca dan perhatikan, memang begitu, tanggal 15. Di tiket istri saya benar tanggal 14.
Saya bingung, namun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Istri saya juga tidak bisa berkomentar. Dia tidak mau berangkat sendiri. Maka tidak ada pilihan selain membatalkan rencana. Tiket kami kembalikan ke loket dengan pemotongan biaya yang sudah diatur. Tapi masih untung tidak dinyatakan hangus.
Setelah itu kami pulang naik taksi, dan sampai di rumah pukul 22.15, langsung tidur dengan tubuh menggigil. Tapi saya lega, meski kecewa tidak jadi ketemu dengan keponakan-keponakan yang mungil dan lucu-lucu itu.Â
Tapi tetap tidak habis pikir kok bisa seperti itu? Apakah itu campur tangan Tuhan supaya saya tidak "mati" di kereta malam itu? Sebab apabila dibayangkan, pasti fatal akibatnya berada di gerbong kereta api yang dingin semalaman dengan tubuh sedang demam berat bukan?
Sanpai sekarang, peristiwa ini merupakan misteri besar yang tidak bisa saya lupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H