Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena AHY Memberikan Kesan yang Kurang Baik?

1 Februari 2023   04:22 Diperbarui: 1 Februari 2023   04:44 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: kompasiana.com

Pilpres 2024 mencuatkan banyak anak muda. Dalam artian, terdapat sejumlah anak muda yang namanya berseliweran di medsos sebagai "bakal capres potensial", meski cuma bermodalkan popularitas semata.

AHY adalah salah satu contoh yang sejak beberapa tahun lalu sudah ramai diberitakan di media-media sebagai sosok yang punya peluang untuk maju sebagai capres. Sebab apa sih yang kurang dari anak muda ini? Dia ketua umum partai politik (parpol), dan yang paling mantul adalah statusnya sebagai anak dari mantan presiden RI.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, itu kata pepatah Indonesia. Like father like son, kata orang Inggris. Anak presiden berpotensi besar mengikuti jejak ayahnya. Contoh, George Bush presiden AS ke-43, mengikuti jejak ayahnya George H.W Bush (presiden AS ke-41) menjadi penguasa di Gedung Putih.

Ada lagi contoh yang dekat dengan kita, yakin negara tetangga Filipina. Bongbong Marcos, putra Presiden Ferdinand Marcos memenangkan pilpres pada tahun lalu (Juni 2022).

Sah-sah saja semua orang menginginkan jabatan presiden di negara masing-masing. Sistem demokrasi memberikan jalan yang sangat lebar untuk itu kok. Lihat saja, Jokowi, yang tiga dekade silam bukan siapa-siapa, tapi sekarang sudah menjadi orang nomor satu di Indonesia. Disegani dan dihormati dunia, sebab kinerja moncernya.

Menjelang Pilpres 2024, media kita sudah dijejali nama atau sosok-sosok yang berminat maupun yang berpeluang menjadi suksesor Presidem Jokowi. Paling tidak, 3 orang di antaranya moncer di survei-survei. Namun lebih banyak yang cuma nafsu besar, namun elektabilitas tidak beranjak dari 1 -- 4 persen, atau lebih sedikitlah.

Nama dan sosok AHY mendapat  sorotan lebih sebab faktor yang disebutkan tadi: anak (mantan) presiden dan ketua umum parpol. Usia masih muda sekali, tampak dari wajah dan penampilannya yang imut-imut dan trendy. Tapi ambisinya untuk maju pilpres -- meski cuma sebagai cawapres sekalipun -- tampak menyala-nyala.

Ambisi kawan ini untuk menjadi penguasa -- mengikuti jejak sang ayah -- sudah terlihat dari kenekatannya mencalonkan diri jadi gubernur DKI jakarta pada 2017 lalu. Nekat, sebab dia tidak segan-segan melepas dinas kemiliteran dengan  pangkat atau kedudukan yang masih tergolong "medioker". AHY rela purnawirawan dini dengan pangkat terakhir "mayor", demi lempang mencalonkan diri jadi cagub DKI Jakarta.

Mungkin dia terinspirasi (atau tergiur) dengan Jokowi, yang cuma dua tahun jadi gubernur DKI Jakarta (2012), namun melangkah mulus ke Istana (2014). Tapi sayang, dia bersama pasangan cawagubnya kalah telak.

Tapi doi tak perlu risau. Dua tahun kemudian mendapatkan jabatan ketua umum Demokrat, menggantikan SBY, ayahandanya. Dengan status sebagai ketum parpol, tentu akan lebih mudah  baginya menyasar pemerintahan yang dia incar.

Sayang, parpol yang dia punya tidak bisa bermain sendiri untuk maju pilpres, sebab perolehan suara pada pemilu lalu tidak cukup. Dia perlu berkoalisi dengan beberapa parpol supaya dapat 20% presidential threshold.

Asa sempat terbangun dengan dideklarasikannya Anies Baswedan oleh Nasdem, disokong Demokrat dan PKS. Tapi langkah politik ini belum final, sebab siapa yang akan menjadi cawapres belum kelar. Kabarnya PKS dan Demokrat saling ngotot untuk memasangkan kadernya di sisi Anies. AHY sendiri ingin mewakili Demokrat.

Sebenarnya AHY sudah wara-wiri ke sana kemari, bertemu dengan parpol-parpol lain untuk menawarkan dirinya untuk 2024 maju sebagai capres ataupun cawapres. Namun hingga kini belum tampak hasil yang signifikan. Ada kesan bahwa parpol-parpol "enggan" menaikkan AHY.

Mengapa? Mungkin orang-orang kurang antusias melihat AHY yang tampak terlalu ambisius, sementara "modal" berupa pengalaman politiknya sangat minim. Pengalaman di pemerintahan pun nol, sebab selama ini hanya di kemiliteran. Adapun jabatannya sebagai ketum parpol, terkesan hanya "hibah" dari SBY.

Namun yang paling disorot tentu langkah AHY yang menanggalkan dinas kemiliteran dalam kondisi serba tanggung, hanya pangkat mayor. Padahal, alangkah bagusnya jika dirinya tetap di sana hingga puncak karir, pensiun dengan pangkat jenderal. Mungkin sebagai kasad atau panglima?

Jika saja AHY memilih jalan ini, pensiun pada puncak karir militernya, parpol dan publik tidak ada sedikit pun keraguan atas dirinya. Tapi karena terkesan ambisius, memburu jabatan presiden RI  meski hanya berpangkat mayor, siapa pun akan mencibir.

Dan itulah kesalahan AHY, tidak memberikan contoh yang baik bagi publik, khususnya generasi muda. Hanya karena ada kesempatan, buru-buru mencampakkan karir dalam keadaan "mentah". Akibatnya, di dunia politik praktis pun sosoknya bisa jadi dianggap dengan hanya sebelah mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun