Hari-hari ini kita ramai dengan berita-berita seputar rumah ibadah. Ada yang pembangunannya dihambat, diprotes, dan dilarang keras oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan warga setempat.Â
Ada pula rumah ibadah megah dan mewah yang sudah selesai dibangun oleh walikota, dengan pembiayaan seluruhnya dari seorang bangsawan Arab yang memang kaya-raya, tajir melintir.
Yang paling heboh mungkin adalah tentang sebuah rumah ibadah yang pembangunannya menelan biaya sebesar Rp 1 triliun rupiah. Dana pembangunan itu, katanya, semua dikuras dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Tidak heran, dan tidak ada kendala, sebab yang punya ide dan pelaksananya adalah seorang kepala daerah, yakni gubernur.
Menariknya, ketika bangunan yang memang megah, mewah dan spektakuler itu diresmikan, bukannya melulu pujian dan sanjungan yang didapat Sang Gubernur. Bahkan sebaliknya tidak sedikit yang berkomentar "miring" seperti: mendingan uang rakyat sebesar itu digunakan untuk membangun infrastruktur yang bermanfaat untuk semua warga.Â
Yang dimaksud di sini tentu jalan-jalan raya diperbaiki, bahkan bila perlu membuka ruas jalan baru untuk membebaskan satu tempat dari isolasi, dsb.
Tidak salah komentar-komentar di atas. Dengan uang sebesar Rp 1 T, padahal ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kesejahteraan masyarakat luas, bukan untuk keperluaan satu golongan saja. Yang namanya tempat ibadah A, memang hanya diperuntukkan untuk penganut agama yang bersangkutan.Â
Apalagi tempat ibadah A, jumlahnya sudah sangat banyak di sana. Lalu untuk apa lagi dibangun? Mending dibangun tempat ibadah lain yang kesulitan mendirikan tempat ibadah karena satu dan lain hal. Tidak salah, sebab uang yang digunakan itu adalah milik rakyat, yang bersumber dari pajak semua rakyat.
Soal dana sebesar Rp 1 T ini, mau tak mau mengingatkan kita kepada seorang gubernur di tempat lain, yang pada suatu masa membangun sarana jalan raya senilai lebih-kurang Rp 360 miliar. Proyek ini dimaksudkan untuk mencegah kemacetan lalu-lintas di sekitar lokasi. Belakangan proyek ini disebut Simpang Susun Semanggi.Â
Menariknya, untuk membangun infrastruktur ini, sepeser pun dana anggaran daerah (APBD) tidak diambil. Padahal selaku gubernur, yang bersangkutan mestinya leluasa untuk menggunakannya, apalagi untuk mewujudkan proyek yang akan dinikmati semua orang, semua warga negara.Â
Lalu bagaimana Pak Gubernur menyiasati atau mengakali agar proyek strategis dan menelan biaya ratusan miliar itu bisa berjalan? Oh, beliau ternyata menggunakan dana koefisien lantai bangunan (KLB) dari perusahaan dengan nilai sekitar Rp 360 miliar. Hebat dan kreatif sekali. Cara ini perlu dicontoh oleh para kepala daerah supaya anggaran daerah yang bersumber dari masyarakat itu bisa digunakan untuk keperluan lain, yang langsung menyentuh masyarakat.