Salah satu contoh adalah soal "purik" (air tajin). Kata Soekirman, dahulu sebelum zamannya rice cooker ibu-ibu kalau memasak nasi di dalam periuk sengaja melebihkan air rebusan beras itu, supaya nanti kalau sudah mendidih, airnya bisa ditampung ke dalam mangkok, lalu ditambahkan sedikit gula/garam.
Ini namanya purik, dan diminum sebagai pengganti susu. Kini karena budaya memasak nasi sudah serba rice cooker, maka yang namanya purik ini tidak lagi dikenal oleh generasi masa kini. Dan sebuah kata, apabila dalam sehari tidak lagi digunakan oleh minimal 500 orang dalam sehari, maka kata tersebut akan punah, demikian kata Soekirman.Â
Tidak hanya sampai di situ, Soekirman benar-benar mempermalukan orang-orang Batak dengan mengulas purik ini secara lebih jauh lagi. Katanya, purik ini berhubungan dengan anduri (tampi) dan monis. Beras pada zaman dulu biasanya dipeari (ditampi) dulu untuk memisahkan debu berupa monis, serpihan kulit padi, dan sebagainya itu. Maka orang-orang Batak mengenal anduri dan mameari (menampi).Â
Tapi zaman sekarang, karena kemajuan teknologi, kita tidak lagi pernah mameari beras dengan anduri, sebab beras sudah dapat dibeli di toko yang dikemas dalam plastik. Kemajuan teknologi memang antara lain menjadi penyebab hilangnya budaya dari masyarakatnya.
Namun menurut Soekirman tidak lantas gara-gara itu kita membiarkan budaya kita hilang. Untuk itulah dia mengucapkan terima kasih kepada HKBP sebagai institusi bidang kerohanian karena masih setia menggunakan bahasa Batak dalam ibadah gerejawi.
Ada banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari pidato Soekirman itu, yang sekaligus mestinya membuat malu orang-orang Batak, karena justru bukan orang Batak yang secara tegas memperlihatkan penghargaan dan kecintaannya terhadap adat-budaya-bahasa Batak. Dia yang bukan orang Batak saja merasa khawatir jika suatu saat bahasa ini punah, karena sudah semakin ditinggalkan masyarakat penuturnya.Â
Beberapa waktu lalu, dalam mengomentari artikel penulis soal masa depan bahasa Batak ini, seorang kompasianer mengatakan bahwa meski dirinya tidak bisa berbahasa Batak, tetapi dia merasa bangga jadi orang Batak! Hellooow...
Penulis sendiri mengamati bahwa  banyak orang tua yang "sengaja" membiarkan putra-putri mereka supaya tidak bisa berbahasa Batak dengan tidak mengajak mereka berdialog di rumah pakai bahasa ini. Maksudnya apa? Supaya si anak "janggal" berbahasa Batak, sehingga ketahuan bahwa dia itu anak kota, yang lahir dan besar di kota besar seperti Jakarta.
Jadi kalau nanti mereka pulang kampung liburan Natal tahun baru, anak-anak itu sudah "tidak ketara" lagi Bataknya. Dan ini suatu kebanggaan, lho! Aneh tapi nyata, namun ini fakta, bah! Soal "tak ketara lagi jadi orang Batak" ini pun disinggung Pak Bupati Soekirman, lho di pidatonya itu.
Akhirnya, salam sukses dan terima kasih untuk Pak Bupati Soekirman untuk ceramah yang sangat inspiratif itu. Anda kebanggaan kami. Horas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H