Komisi Pemberantas Korupsi atau KPK, saat ini bagaikan anak kesayangan bagi mayoritas rakyat Indonesia. KPK sedang diusik oleh pihak-pihak yang kelihatannya tidak ingin melihat KPK punya power. Para pihak itu yakni DPR dan pemerintah. Politikus dan eksekutif ini sudah sepakat bahwa KPK akan direvisi. Namun masyarakat menolak dengan sangat keras rencana ini, sebab di mata masyarakat, revisi yang dimaksud bukannya untuk memperkuat, tetapi untuk melemahkan. Rakyat benar.
Wewenang KPK yang hendak direvisi itu antara lain adalah hak menyadap. Ibaratnya, "menyadap" itu merupakan mata dan telinga. Kalau seorang manusia sudah dihalangi atau dihambat menggunakan kedua indera ini secara leluasa, naka aktivitas dan pergerakannya jelas menjadi berkurang drastis. Kira-kira seperti itulah nasib KPK kalau nanti hak menyadap itu dibatasi.
Ke depan, lembaga  antirasuah ini tidak lagi dapat menggunakan wewenang penyadapan itu dengan bebas, tetapi harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari lembaga pengawas-- yang akan dibentuk nanti. Iya, kalau lembaga pengawas itu segera memberikan izin sehingga KPK bisa langsung beraksi melaksanakan tugasnya. Tapi sebaliknya, yang dikhawatirkan, bagaimana pula kalau pengawas tidak memberikan izin menyadap, atau bahkan terlebih dahulu "karaokean" dengan objek yang hendak disadap itu?
Gambaran-gambaran semacam inilah yang ada di benak jutaan masyarakat, termasuk tokoh-tokoh yang dikenal berintegritas yang menyuarakan penolakan atas rencana revisi UU KPK tersebut. Kekhawatiran ini semakin beralasan mengingat yang getol memaksakan revisi ini adalah DPR.Â
Dan bukan kali yang pertama, upaya revisi ini sudah dilontarkan sejak beberapa tahun silam, dengan berbagai macam narasi. Tapi selalu mendapatkan penolakan dari masyarakat luas. Entahlah kenapa sekarang ini upaya DPR berhasil, sebab Presiden akhirnya menyatakan persetujuannya merevisi UU KPK secara terbatas.
KPK memang bukan organisasi yang sempurna atau lembaga suci, sekalipun masih banyak kekurangan lembaga ini yang mutlak perlu diperbaiki dari waktu ke waktu sambil menyesuaikan dengan perkembangan. Saran agar UU KPK direvisi, sebenarnya juga bukan sesuatu yang haram. Tetapi menjadi sumir karena usul ini datang dari DPR. Sebab bukan rahasia lagi jika lembaga yang mengklaim diri sebagai perwakilan rakyat ini reputasinya memang kurang bagus di mata sebagian besar masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini sangat rendah.Â
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Danny JA mengungkapkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada  DPR masih menjadi yang terendah di antara lembaga negara lainnya. Hal itu terungkap di dalam survei teranyar yang dilakukan oleh LSI Danny JA pada 18 Juni - 5 Juli 2018. Jumlah responden survei mencapai 1.200 orang diseluruh Indonesia.Â
"Di DPR masih ada yang korupsi, DPR juga dianggap tidak ada fungsinya," kata Adrian Sopa, peneliti LSI, di Jakarta (31/7/2018). Berdasarkan survei LSI Danny JA, hanya 65 persen responden yang percaya kepada DPR, sementara 25,5 persen tidak percaya dan 9,5 persen tidak menjawab (Kompas.com 31/7/2018).
Fenomena akhir-akhir ini saja bisa jadi gambaran, apakah DPR ini benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat banyak, ataukah cuma memikirkan kepentingan sendiri saja? Sejak rencana revisi UU KPK mulai menguat lagi menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2019 nanti, reaksi masyarakat sangat jelas: menolak revisi UU KPK.Â
Melihat suara rakyat yang disokong kaum intelek, tokoh agama, tokoh masyarakat ini, DPR mestinya sadar dan mengurungkan niatnya merecoki KPK. Toh ada banyak kepentingan rakyat yang perlu diakomodasi dan diperjuangkan DPR, tapi kok ngototnya merevisi UU KPK, bahkan memaksakan sebelum keanggotaan pada periode ini berakhir?Jangan abaikan juga suara-suara yang mempertanyakan asas legalitas revisi UU KPK ini. Apakah tahapan dan prosedur sebelum dibawa ke pembahasan sudah benar?
Sosok oknum-oknum DPR yang selama ini ngotot merevisi UU KPK sudah dihafal oleh masyarakat. Tapi Pemilu 2019 sudah selesai, dan beberapa oknum yang sejak menjadi anggota DPR pada periode lalu kerjanya hanya merecoki KPK, sialnya, masih terpilih untuk periode lima tahun mendatang. Ngototnya mereka mempreteli KPK juga tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa banyak teman mereka, baik di pusat maupun daerah yang menjadi "langganan" KPK.
Data KPK mencatat sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang Januari-Mei 2018. Angka tersebut lebih dari separuh jumlah pejabat/karyawan swasta yang telah tertangkap komisi anti rasuah yang mencapai 118 orang. Sehingga sejak 2004, anggota DPR dan DPRD yang terlibat kasus korupsi telah mencapai 205 orang atau 24% dari total 856 orang (databox).Â
Ketua KPK, Agus Raharjo, mengatakan bahwa pelaku pejabat publik terbanyak diproses dalam kasus korupsi adalah para anggota DPR dan DPRD, yaitu dalam 255 perkara. Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Ini baru data sampai Juni 2019. Setelah itu, sejumlah politisi kembali diproses (CNBC, 6 September 2019).
Maka berkaca dari fakta-fakta ini saja, rakyat sudah tidak simpati dengan niat DPR ini, yang belakangan malah diamini pemerintah. Tapi masih ada waktu bagi pemerintah untuk kembali memenangkan hati masyarakat, dengan misalnya membentuk dewan pengawas KPK berdasarkan pilihan pemerintah sendiri, yang integritas para anggotanya sudah teruji. Jangan malah DPR pula yang menunjuk dan menentukan dewan pengawas, itu sama saja membunuh KPK dua kali!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H